Jam empat subuh buta ayahku bangun dari tidurnya. Dari dalam kamar kudengar bunyi gelas kaca yang terus bertengkar dengan sendok. Iramanya seperti perpaduan antara musik zaman klasik dan romantik.. Aromanya penuh romansa seperti diksi dalam puisi cinta eyang Sapardi. Secangkir kopi hitam pahit meneguk kerongkongan ayah yang dahaga. Ia lalu duduk bersila menemani Inak yang lebih dulu berkutat di dapur. Disusul sahutan kokok ayam di ranting-ranting dan di cabang pohon mangga di samping rumah.
    Kehidupan kami jauh dari kemewahan. Sebuah gubuk tua yang hampir reot, atapnya dari alang-alang, dinding dari bambu. Pada bagian depan sengaja dibuat sekat agar udara bebas berkeliaran di dalamnya. Kami bahagia sekali dengan wajah hidup ini.
     Di kampung kecil ini ada sebuah kebiasaan yang turun-temurun dari Ibu-ibu yang bangun sekitar jam 4 subuh untuk meniti jagung. Jagung titi inilah yang akan menafkai sarapan pagi kami sebelum ke ladang. Suasana pagi begitu indah. Batu-batu yang digunakan untuk meniti jagung saling sahut  menyahut seperti rima yang diajarkan guruku sewaktu sekolah dasar. Aku mengerti sebegitu gigihnya ayah dan ibuku mengartikan hidup.
    Gelap mulai terang. Ayam-ayam berjalan penuhi halaman, menunggu sebutir jagung yang jatuh dari tanganku. Sesudahnya kulihat ayahku bergegas mengemas. Tangan kirinya  mengenggam tombak dan panah. Sedangkan tangan kanannya memegang sebilah pedang dan kewowo ( Bakul berukuran sedang yang terbuat dari anyaman lontar untuk menaru singkong atau barang-barang lainnya). Ia mengayu kakinya menujuh kebun yang cukup jauh dari rumah. Ribuan langkah menyentak kerikil-kerikil kecil yang membentang di jalan mengantarnya. Seperti roster kecil dari sepucuk kertas tulisan adikku. Demikian juga Ayahku. Ia menulis satu persatu pekerjaan di otaknya kemudian membagi waktu sampai malam memanggil pulang. Tak butuh waktu lama ia memacul tanah.
    "Tak..tok..tak..tok..", bunyi cangkul terdengar dari kejauhan.     Â
Kupercepat langka menghampiri Ayah yang sedang berjemur dalam kerumunan cahaya. Debu mengepul, ia mengibas, sesekali menghirupnya.
     Terik matahari semakin panas. Tubuhnya berlumuran Keringat mengucur deras sampai kuyup. raga rentahnya mulai legam pada panasnya. Aku mulai menatap bening matanya begitu dalam. Setulus itu ia berkorban demi keluargaanya, demi uang kuliahku yang tiap semester naik. Sedangkan aku, aku hanya berpesta pora di atas keringatnya bersama teman-teman sewaktu sabtu tiba, melegahkan keluhan seminggu di kampus. Dengan gitar kami bernyanyi melenakan jiwa sampai larut. Di sini kulihat ayahku dengan tabah membasuh peluh pada alam yang engan berkawan,  pada hasil bumi yang terus-menerus turun lantaran kebijakan pemerintah yang terus memonopoli sistem pemasaran.  Sambil berdendang dia terus memacul ditemani bayang-bayangnya yang memanjang di depan.
    Matahari masih di atas kepala. Aku mengajak Ayahku bergurau sengaja menopang letihnya. Wajahnya terlihat berang, tapi cintanya begitu tulus, bahkan lebih tulus dari ombak di laut Inaburak yang tak perna berhenti menepuk-nepuk bibir pantai. Kami berdendang oha (lagu daerah masyarakat Adonara seperti pantun) memuja Tuhan dan alam yang lestari.
    Tak terasa hari mulai petang. Namun aku dan Ayah masih saja tak peduli pada bias senja di hamparan ilalang. Dengan sabar kami mengumpulkan hasil ladang untuk inak yang tak sabar menunggu di rumah. Seekor elang malam bersiul sepanjang jalan menuntun arah malam. Sesampai di selasar rumah kucium aroma daun ubi yang sudah disulap menjadi sayur yang lesat. Ikan kerapu hasil tangkapanku kemarin malam terhidang di atas meja. Pada momen di meja makan ini aku coba menceritakan beberapa kasus kuliahku. Aku harus jujur melepas sejengkal masalah di kampus. Tentang dispensasi pada semester ini, tentang uang kos-an yang nunggak 2 bulan atau tentang demo-demo di kampus menuntut keadilan pada kursi-kursi kayu yang katanya tak layak di pakai oleh mahasiswa. Masih di meja makan ini, kulihat ayah menghela nafas dalam-dalam. Pikirannya membayang tak tahu arah. Hanya satu solusi yaitu dengan meminjam uang pada tetangga.
    Malam semakin larut, aku sengaja  melirik Ayah yang belum juga tidur. Bola matanya melirik langit-langit rumah. Mungkin ia masih kepikiran tentang uang kuliah dan uang kosaanku yang nunggak. Ia hanya berharap Tuhan  memberi rezeki pada ladang yang tandus, atau pada hujan kemarau yang panjang.
     Waktu liburan hampir habis. Aku harus pergi meniggalkan Ayah dan Inak. Namun suasana haru di meja makan  malam itu membuat kakiku engan melangkah. Aku masih memikirkan nasib Ayah, dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu untuk membayar hidupku dirantau. Malam itu menejadi renungan panjang. Namun kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  tahun 2020 tentang kuliah daring  mendamaikan niatku. Aku harus tinggal membantu Ayah memetik kelapa, memetik pucuk daun ubi untuk dijual di pasar, mengumpulkan biji mente atau mencari pakan kambing dan babi. Dan semua pekerjaan itu tidak mungkin hanya dikerjakan oleh Ayah sendiri. Hari-hari yang melelahkan terbayar oleh sifat gotong royong kami. Satu persatu rupiah terkumpul. Semua uang itu berhasil ku tabung yang nantinya akan ku bawah  untuk membayar registrasi semester serta keperluan lainnya.
     Suatu hari pada malam bulan purnama, sepi meramal. Kudengar tangis suara di ujung kampung. Ratapan itu semakin menderu. Ditambah lagi lolongan anjing di kejahuan malam yang mencekam. Beberapa menit kemudian seruling petanda kematian berbunyi riu menerpa pintu rumahku. Jenazah dari almahrum kakek yang tua rentah itu akan dihantar pergikan selama-lamanya besok sore pukul 15.00 WIT. Aku kaget mendengar berita duka tersebut. Lantaran yang meninggal itu saudara sepupunya  nenek saya, maka pihak keluarga kami harus menanggung hewan untuk keluarga yang berduka. Ayahku  semakin binggung. Sedangkan kambing dan babi kami belum layak untuk disembeli. Kebiasaan adat yang sudah turun-temurun mengharuskan kambing yang layak untuk dibawah saat orang meninggal adalah kambing jantan dengan harga atau nilainya berkisar Rp 4 juta hingga lebih dari itu, serta mempunyai tanduk dengan panjang minimal 25 cm. Jika membawa babi sekalipun harus dengan harga minimal Rp 5 juta. Hal ini dilakukan sebagai bentuk atau ukuran harga diri keluarga kami. Melihat keadaan seperti ini dengan terpaksa Ayahku mengambil uang kuliahku untuk membeli kambing.
    Selain kambing atau babi, di kampung kecil  ini juga ada sebuah kebiasan yang mewajibkan setiap rumah mengumpulkan uang sebesar Rp 20 ribu untuk membantu meringankan keluarga  untuk membeli segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dalam kedukaan. Dan semua kebiasaan atau adat  yang turun-temurun itu wajib dilaksanakan, apapun yang terjadi. Karena semua itu menyangkut harga diri.
    Hidup dalam adat terkadang membuat aku sedikit mengelu, bukan mengeluh pada aktivitasnya tapi pada rupiah yag terus-menerus mencengkram leherku, namun jika untuk urusan adat, utang pun harus. Sementara untuk urusan sekolah atau urusan lain selalu ada alasan. Sampai Ayah juga mengakuinya ketika perbincangan kami di meja makan itu.
     Di pulau kecil ini adat menjadi nomor satu yang terkadang membebani secara ekonomi bagi mereka yang hidupnya serba kekurangan. Bahkan untuk melanjutkan sekolah anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi pun harus berpikir seribu kali. Tapi aku dan Ayah selalu menghargai jerih paya kami, memberikan yang terbaik untuk kampung halaman kami. Ayahku selalu pada prinsipnya bahwa "kita harus banyak memberi maka kekurangan itu akan ditambahkan dengan sendirinya. Kita harus bekerja lebih tekun lagi anakku sebab hidup ini untuk dijalani. Jangan sampai kita mengatasnamakan adat sebagai pemisah antara hasrat hidup lainnya,  dengan alasan yang tidak rasional. tidak ada yang pantas dipersalahkan anakku. Adat tidak salah, yang salah sebenarnya kita sendiri karena belum mampu menghitung hari dengan bijak", Gumam Ayah dengan nada yang sejuk, sambil memeluk aku yang terus menerus memikirkan masadepan kuliahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H