Mohon tunggu...
Lukas Yohan S.
Lukas Yohan S. Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya masih dan sedang berada pada pencarian makna terhadap banyak hal di dunia ini. Menarik manakala memikirkannya secara tidak biasa. Read me more : lukasyohans.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi Pasca Puasa dari/untuk Kristen-Islam

11 Juli 2016   19:03 Diperbarui: 11 Juli 2016   19:20 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah yang paling umum kita pahami dari “berpuasa”???

  • Tidak makan
  • Tidak minum
  • Lebih rajin ibadah
  • Lebih banyak bersedekah
  • Menghayati kesengsaraan
  • Memohon pertolongan Tuhan, dsb

Saya kira pemahaman kita mengenai puasa yang telah kita sebutkan tadi tidak ada yang salah atau benar; semuanya memang demikian adanya. Kita sejak lama sudah tahu bahwa puasa itu sesuatu yang menjadi perdebatan juga di antara orang Kristen maupun orang Islam. Setidaknya pertanyaan-pertanyaan yang kerap diajukan adalah mana praktik puasa yang lebih baik; mana praktik puasa yang lebih benar; puasa itu berapa lama, apakah 30 hari penuh seperti orang Muslim atau bisa sampai 40 hari namun dengan banyak pengecualian seperti orang Kristen; puasa itu sebenarnya bertujuan untuk apa; dsb.

Di Kekristenan, melalui Alkitab kita jadi tahu bahwa ternyata banyak ragam praktik puasa dilakukan oleh tokoh-tokoh yang berbeda; yang tentunya hidup di dalam waktu-waktu yang berbeda-beda. Kenapa itu bisa terjadi? Apakah Kekristenan tidak punya aturan baku mengenai praktik berpuasa sehingga jika ada umat Kristen berpuasa punya pedoman. Makanya kalau dibandingkan dengan praktik berpuasa di Islam, setidaknya yang kita tahu mereka memiliki banyak sekali aturan-aturan pelaksanaan berpuasa untuk diikuti. Terlebih ketika memasuki bulan Ramadhan, muncul kebingungan tentang bagaimana kita bersikap menghormati mereka yang berpuasa sementara kita yang Kristen tidak berpuasa.

Teman-teman boleh mencari-cari di internet pembahasan tentang puasa dan di sana disediakan banyak sekali artikel tentang puasa; baik itu yang Kristen maupun yang Islam; baik itu yang suka membanding-bandingkan dan menyatakan yang paling baik dan benar; baik itu yang membahas dari beragam manfaat dari sisi psikologis, kesehatan, ekonomi, politik, hingga budaya. Tapi sebelumnya mari kita coba lihat dan perhatikan dari apa yang sudah saya sarikan dan coba untuk bagikan tentang puasa.

Di ponsel teman-teman setidaknya punya aplikasi Alkitab yang memiliki fitur “pencarian” dengan kata kunci. Masukkanlah kata “puasa” dan akan kita jumpai banyak sekali kisah tentang puasa dari kitab Imamat sampai Yudas, sehingga untuk membahas satu-satu akan menghabiskan waktu banyak sekali. Saya mencoba untuk mengambil beberapa kisah tentang puasa di Alkitab dan meninjaunya dari hal paling dasar, yakni hakikat berpuasa. Hasilnya memang beragam, seperti yang bisa saya sarikan. Dari 28 kisah yang sudah saya ubek-ubek sampai membuat saya lapar waktu, hehehe... Saya mencoba untuk mengklasifikasikan hakikat puasa itu menjadi 6 hal.

Puasa itu apa?

  • Demonstrasi kepada Allah : Ezra 9:21-23; Yunus 3:1-10; 2 Samuel 1:11-12; Mazmur 35:13; Mazmur 109:24; Yesaya 58; Yeremia 14:12;
  • Klaim kuasa dari Allah : Yeremia 36:6-10; 2 Tawarikh 20:3; Ester 4:15-16; Daniel 6:16-19; Matius 4:2;
  • Rekonsiliasi hubungan manusia kepada Allah : Yoel 1:14 & 2:15; 1 Samuel 7:6; Nehemia 9:1; Daniel 9:3-19;
  • Perkataan Allah sendiri : Zakharia 8:18-19; Zakharia 7; Matius 6:16-18;
  • Kesadaran relasi untuk Allah : Lukas 2:36-38; Matius 9:14-17; Lukas 5:33-35; 2 Korintus 6:5, 11:27
  • Kebutuhan mengambil keputusan : Kisah 13:2-5, 14:23

PERTAMA, ada 6 hakikat yang saya baca dan merebusnya sampai ke sari-sarinya dan menemukan bahwa hakikat puasa itu adalah demonstrasi kepada Allah. Apa yang teman-teman pahami dari kata “demonstrasi”??? ...... Semua kisah itu masih ada dalam Perjanjian Lama yang masih kental dengan budaya Yahudi untuk berpuasa. Sementara puasa yang dilakukan oleh orang Yahudi kebanyakan adalah bentuk dari rasa berkabung atas kehilangan atau kematian, ada situasi-situasi tertentu sehingga menyebabkan orang-orang protes kepada Allah karena membiarkan atau malah menyebabkan orang yang dicintainya mati. Puasa kemudian menjadi bentuk protes untuk tidak memberikan kehidupan selama bebeapa waktu untuk tubuh dengan cara tidak memberikan asupan makanan atau minuman yang merupakan penunjang kehidupan manusia. Di masa berkabung itu, orang mempertanyakan kuasa Allah itu dengan mengambil risiko jaminan kehidupannya; Selain itu, demonstrasi juga merupakan protes kepada Allah tentang perkataan-perkataan Allah melalui para nabi, hal ini muncul ketika orang-orang di Niniwe mendengar bahwa kota Niniwe akan dimusnahkan oleh Allah, makanya mereka melakukan serangkaian protes kepada Allah dengan salah satunya melakukan puasa. Orang-orang berusaha untuk membatalkan niat Allah yang hendak menghancurkan negeri mereka.

KEDUA, hakikat puasa yang kedua adalah untuk “mengklaim kuasa Allah untuk diberikan kepada mereka”. Di dalam kisah-kisah yang saya baca di Perjanjian Lama, rata-rata praktik berpuasa adalah untuk menaklukkan sesuatu; bisa jadi dalam konteks peperangan; bisa juga dalam konteks kepemimpinan dalam pemerintahan kala itu. Mereka menyadari bahwa mereka adalah manusia-manusia yang membutuhkan bantuan dari yang lebih besar dari mereka, dan tentunya sangat yakin bahwa dengan bantuan kuasa Allah mereka mampu menaklukkan apa yang hendak mereka taklukkan; dalam peperangan maupun untuk kemampuan memimpin pemerintahan, yang memang bisa jadi merupakan mandat Allah sendiri. Tapi di satu kisah Perjanjian Baru, saya menjumpai kisah tentang Yesus yang berpuasa selama 40 hari 40 malam sebelum kemudian mulai tampil di hadapan publik untuk berkarya. Makanya bisa jadi praktik puasa yang Yesus lakukan juga merupakan satu cara persiapan Yesus untuk melakukan sesuatu di waktu kemudian. Nah makanya waktu-waktu persiapan itulah saat ketika Yesus mengklaim kuasa Allah sendiri untuk diri-Nya. Untuk konteks kisah Yesus tentunya sudah jauh berbeda dari kisah-kisah di Perjanjian Lama yang dilakukan untuk peperangan maupun kepemimpinan, namun lebih dalam kerangka membekali diri Yesus sendiri untuk lebih siap maju di hadapan publik dan berkarya.

KETIGA, hakikat puasa yang ketiga adalah untuk merekonsiliasi hubungan manusia kepada Allah. Praktik puasa yang ini berangkat dari kesadaran bangsa Yahudi bahwa ketika Allah murka kepada mereka, maka akan ada bencana dan celaka yang akan ditimpakan kepada mereka, sehingga membuat mereka sadar diri untuk segera membetulkan kesalahan dan dosa mereka. Ketika mereka berpuasa sambil mempersembahkan korban bakaran kepada Allah, bisa jadi merupakan bentuk pembaruan komitmen hidup mereka kepada Allah. Pembaruan itu diwujudkan dalam penyesalan yang dalam dan berjanji untuk tidak lagi mengulang dosa mereka lagi. Selain itu, ketika mereka telah mencoba dengan sungguh-sungguh menyesali diri, mereka mengharapkan Allah melihat kesungguhan itu. Praktik puasa yang ini tidak cuma dilakukan perseorangan saja, namun juga dapat dilakukan untuk/secara komunal. Maksudnya adalah berangkat dari kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah dari apa yang dilakukan orang-orang kebanyakan, makanya orang-orang harus diingatkan bahwa kebiasaan yang mereka jalankan telah salah jalur. Kisah Daniel membuktikan hal ini, meski praktiknya adalah Daniel melakukan puasa bukan untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk kepentingan bangsanya yang sudah menyimpang jauh sekali dari Allah.

KEEMPAT, hakikat puasa keempat adalah bahwa memang puasa juga merupakan perkataan Allah sendiri, sebagaimana terkisah dalam 2 kisah yang saya temukan dalam Zakharia 7 & 8 dan Matius 6:16-18. Namun ini yang menjadi menarik dari perkataan Allah dalam PL dan dari perkataan Yesus dalam Injil di PB. Periksalah di kedua kisah itu mengenai keharusan dari Allah untuk berpuasa.... Apakah kita temukan??? TIDAK. Jadi yang Allah katakan adalah “Ketika kamu berpuasa...” dalam kisah di Zakharia; dan yang Yesus katakan adalah “Dan apabila kamu berpuasa...”. Apakah maksud perkataan ini? Puasa itu diperkatakan oleh Allah sendiri; ibarat hukumnya orang Islam adalah sunnah alias dianjurkan; tidak mengikat tapi juga sangat baik jika dilakukan. Makanya itu kenapa ada yang mendefiniskan praktik berpuasa itu sebagai bentuk sukarela untuk dilakukan. Orang tidak dilarang untuk melakukannya, tapi jika dilakukan justru baik; dan menariknya Allah memberikan suatu wejangan dari 2 kisah itu.

KELIMA, hakikat puasa yang kelima adalah wujud kesadaran relasi dengan Allah. Lima perikop yang saya ambil merupakan cerminan dari 3 kisah dari nabi Hana, para murid Yesus ketika masih bersama Yesus, dan rasul Paulus. Wujud kesadaran relasi itu pun beda-beda: Nabi Hana berpuasa karena kesadarannya bahwa relasi dengan Allah telah memampukannya mengucap syukur lewat doa dan puasa. Sesederhana itu. Tapi juga para murid Yesus kala itu sempat diperbandingkan dgn murid Yohanes Pembaptis karena para murid Yesus tidak berpuasa. Yesus menjelaskan bahwa selagi Ia dekat, maka sebenarnya ambillah banyak kesempatan untuk berhubungan dengan-Nya, jangan membatasi dirimu, namun selagi kemudian Yesus telah naik dan pergi, berpuasalah untuk tetap menjaga hubungan itu. Maka kemudian itulah yang dilakukan oleh rasul Paulus dalam pelayanannya yang tidak kenal lelah. Rasul Paulus bersaksi kemana-mana dan juga di dalamnya berpuasa. Namun puasanya bukan lagi untuk klaim kuasa dari Allah untuknya, namun sudah lebih dari itu bahwa berpuasa itu sudah jadi kebutuhan untuk tetap berhubungan dengan Allah.

KEENAM, hakikat puasa yang keenam adalah untuk keperluan mengambil keputusan dan bertindak untuk sesuatu hal. Kisah Para Rasul dalam dua kisah yang saya ambil menjelaskan tentang pergumulan para rasul untuk bertindak dan berpuasa untuk mencari tahu maksud Tuhan lewat Roh Kudus atas diri mereka agar tahu kemana dan bagaimana harus pergi. Di kisah kemudian, para rasul pun berpuasa untuk untuk menentukan penatua-penatua, sehingga “bertanya” kepada Tuhan lewat puasa. Nah, ini juga sering kita dengar di sekitar kita, jemaat gereja melakukan puasa untuk mencari tahu maksud Tuhan dalam memilih sesuatu untuk diri dan komunitas mereka.

Nah teman-teman, dari 6 hakikat puasa yang saya sarikan dalam Alkitab ini, apakah masih ada yang mempertanyakan tentang mana yang benar dan mana yang baiknya saya lakukan? Kok sepertinya berbeda dari puasa orang Islam? Yakin, beda?

Di Islam, puasa itu memang ada yang bentuknya wajib dan ada yang bentuknya sunnah. Puasa wajib itu adalah puasa di bulan Ramadhan yang datang sebulan dalam setahun. Meskipun pada akhirnya sifatnya wajib, bagi orang Muslim, puasa Ramadhan itu seperti sebuah acuan yang sangat baik untuk “pintu masuk” kehidupan manusia untuk bisa menahan, menyaring, menjernihkan, membeningkan, dan memfilter apapun yang ada dalam kehidupan. Makanya sebenarnya, puasa Ramadhan bagi orang Muslim (yang menurut orang Muslim sendiri) harusnya dipahami sebagai kekhususan yang diberikan kepada manusia untuk bisa menuju puasa-puasa yang lebih luas konteksnya.

Jadi konteks ajarannya dengan Kristen memang agak beda. Bedanya tentang kewajiban dan anjuran. Kita di Kristen memahami bahwa puasa itu tidak wajib, tetapi sangat baik jika dilakukan, di Islam ada puasa yang wajib dilakukan dan ada juga yang dianjurkan. Harusnya yang kita pertanyakan adalah kenapa kita harus (atau baik jika melakukan) berpuasa? Bukan soal puasa siapa yang lebih baik. Itu urusannya Tuhan karena Tuhan yang dapat menilai.

Jadi, kenapa kita harus puasa dalam konteks Islam maupun Kristen itu ada dalam 3 aspek. Mari lihat lagi 6 hakikat puasa di dalam Alkitab yang sudah disarikan di atas. Ternyata keenamnya menunjukkan 3 aspek yang sama dengan Islam tentang kenapa kita harus atau baik berpuasa.

  • Puasa untuk diri sendiri atau duniawi : baik Islam maupun Kristen menempatkan puasa sebagai metode atau cara untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya duniawi.
  • Puasa untuk ukhrawi : puasa ini menempatkan puasa demi tempat yang mulia di Kerajaan Surga, sehingga dibarengi dengan sikap hidup terus berbuat baik dan sesuai Allah. Dalam bahasa Islam adalah demi mendapatkan pahala yang sebanyak-banyaknya.
  • Puasa untuk Allah atau ilahiyah : puasa ini sudah betul-betul menjadi keberserahan diri kepada Allah sehingga puasa menjadi bentuk diri yang membebaskan dari segala kepentingan diri sendiri. Puasa kita semata-mata untuk tetap berhubungan dengan Allah. Makanya di dalam segala keberserahan diri kita itu, ya kita membiarkan diri ikut dengan maunya Allah. Kalau dalam bahasa Kristen adalah “berserah”, maka dalam bahasa Islam adalah “Al-Ikhlas”.

Jadi, makanya puasa itu harusnya tidak dipahami cuma sekadar menahan untuk tidak makan dan minum, karena berpuasa juga harus memberikan perubahan diri. Kalau toh sederhananya yang bisa kita pahami tentang berpuasa adalah cuma menahan makan dan minum, lalu apa yang kemudian kita rasakan dan renungkan dari menahan makan dan minum? Kalau jawaban kita masih berkisar soal urusan perut, maka dunia yang kita ingin capai sebenarnya juga cuma soal perut. Tapi kalau bisa lebih jauh dari itu, misal “aku merasa merasa lebih menghargai dan prihatin dengan mereka yang tidak bisa makan”, maka hasil berpuasa kalian sudah lebih jauh daripada cuma soal urusan perut, tapi ke soal kesadaran realitas dunia kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun