Mohon tunggu...
Luhur Satya Pambudi
Luhur Satya Pambudi Mohon Tunggu... profesional -

Seorang lelaki sederhana yang suka menulis cerpen, soal sepak bola, dan bisa pula perihal lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Pasca Fenomena Timnas di Piala AFF 2010

31 Desember 2010   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:09 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12937867491246416565

Duka di wajah skuad Merah Putih.(republika.co.id)
Kendati timnas Indonesia kembali gagal juara, namun aksi Firman Utina dkk sepanjang bulan Desember di Piala AFF 2010 telah menjadi fenomena tersendiri di negara kita. Kemenangan mengesankan sejak babak penyisihan hingga semifinal membuat begitu banyak orang Indonesia menengok dan tertarik untuk mengikuti kiprah skuad Merah Putih. Demikian pula media massa pun mengeksposnya dengan luar biasa. Padahal selama ini sudah begitu kerap tim sepak bola kita bertanding mengikuti babak kualifikasi kejuaraan dan turnamen, namun adem ayem saja tampaknya karena memang biasanya berujung pada kegagalan. Salah satu hal yang luar biasa tersebut, banyak orang yang kini mendadak bisa menulis tentang timnas Garuda dalam beragam aspeknya, sesuatu yang sebelumnya hanya dilakukan oleh segelintir orang (demikian pula di kompasiana tentunya).

Sejumlah orang mengatakan bahwa apa yang baru terjadi adalah momentum kebangkitan sepak bola nasional. Tak kurang dari Presiden SBY sendiri mengatakan hal itu setelah menyaksikan Piala AFF 2010. Pada sisi lain memang ada fakta yang sedikit melegakan Pak Presiden karena ternyata timnas mampu tiga kali menang, yaitu atas Filipina di dua semifinal dan Malaysia di final kedua. Padahal sebelumnya setiap kali beliau menonton langsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno, timnas selalu kalah (yang terakhir dari Uruguay sekian bulan silam). Namun wajar pula jika kita masih cukup pesimis melihat perkembangan timnas selanjutnya ketika sang ketua umum PSSI yang keras hati dan kepalanya tersebut masih selalu melontarkan kata-kata negatif setiap kali dikritik.

Masak iya puluhan ribu orang di Senayan yang meneriakkan ‘Nurdin turun!’ ada yang membayarnya? Bukankah mereka justru para pembeli tiket (yang dengan susah payah didapatkan) yang membuat kas PSSI menjadi kian gemuk? Bukannya diberi ucapan terima kasih, mereka justru dituduh yang bukan-bukan oleh si ketua umum. Siapa pula yang akan sanggup membayar begitu banyak orang yang melantunkan nada serupa di berbagai situs jejaring sosial?

Selanjutnya saya ingin sekadar menampilkan kembali tulisan saya pada 13 Desember 2007, siapa tahu masih relevan dengan saat ini dan mampu menjadi pelajaran berharga untuk perbaikan nasib sepak bola Indonesia di masa depan.

Kegagalan Momentum

Penampilan trengginas timnas Indonesia di Piala Asia pada bulan Juli 2007 sempat memberikan secercah harapan bahwa sepak bola kita bakal segera bangkit, kendati timnas gagal lolos ke babak selanjutnya. Namun sayang, PSSI gagal memanfaatkan momentum tersebut. Malah sang ketua umum masuk penjara lagi, ngotot mempertahankan jabatannya meski jelas melanggar peraturan, dan konsentrasi PSSI pada timnas pun tak bisa maksimal lagi. Mestinya, pasca Piala Asia para pemain bisa kembali melakukan pelatnas secara berkala dan melakukan pertandingan uji coba internasional dengan tim-tim berkualitas. Apalagi, di sela-sela ketatnya jadwal kompetisi Liga Indonesia, sebenarnya sempat ada liburan selama bulan Ramadan hingga beberapa hari selepas lebaran. Ketika Guam yang semula menjadi calon lawan kita mundur dan Indonesia otomatis lolos ke babak selanjutnya, pelatnas tetap tidak digelar. Akibatnya para pemain senior seperti sudah lupa bagaimana bermain bagus seperti saat tampil di Piala Asia lalu. Sementara itu para pemain U-23 yang sudah tampil lumayan saat timnas beruji coba di Argentina juga berantakan konsentrasi dan fisiknya sepulangnya ke tanah air, karena mesti kembali bermain bagi klubnya, padahal tugas di timnas belumlah usai. Konyolnya, ternyata tidak terjadi komunikasi yang baik antara Kolev sebagai pelatih timnas dengan para pelatih klub. Padahal, apa susahnya bagi PSSI untuk menjembatani Kolev dengan mereka? Maka, hasil akhirnya adalah kegagalan menyakitkan kembali dialami timnas, baik di Pra Piala Dunia maupun di SEA Games. Jika Kolev dianggap bersalah dan mesti mundur dari jabatannya sebagai wujud tanggung jawabnya, kapan sang ketua umum dan kroninya merasa bersalah, lantas mundur pula dari jabatannya? Mengapa tak jua memberi kesempatan kepada yang lain untuk membangun sepak bola nasional, ketika catatan kegagalan sudah kian menumpuk?

Terima kasih atas perhatiannya. Tak lupa, Selamat Tahun Baru 2011, semoga segala sesuatunya bakal lebih baik di tahun mendatang, termasuk tim sepak bola kita pun akan berjaya.

Yogyakarta, 31 Desember 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun