Bagaimana bisa tega melihat seorang kiai mendadak berjalan dengan nyeker keluar dari batas suci emperan langgar Al-Muhajjirin siang itu. Beberapa santri dan para jemaatnya, mengira itu adalah penampakkan kadar kualitatif marifatullah dari kiai yang terlampau tinggi hingga dinalarpun sulit, jika diteruskan menalarnya tak mustahil gila.Â
Seakan sudah menganggap alas kaki sebagai entitas material yang katanya menindas keterbutuhan manusia menjadi ketergantungan, lantas menganggap mbah kiai adalah model prototipe dari waliyullah yang wajib ditiru, digugu, dan jangan diguyu tingkah lakunya.
Sepertinya bukan beberapa orang yang mengira demikian, sepanjang bertapak tilas kiai dari langgar pulang ke rumah tak beralaskan sendal, sembari menjawab uluksalam dari setiap orang, entah jemaat, santri atau tetangganya yang bermaksud bertegur sapa, padahal sedikit banyak ingin meluapkan rasa prihatin dan kebingunganya, "loh si mbah kok gak pakai sendal sepulang dari masjid. Jangan-jangan," kata mereka didalam hati, yang berassalamualaikum dihadapan kiai.Â
Ada yang mengawali kegundahan mereka siang hari itu dengan tetap berassalamualaikum, tapi tetap dengan hati bergumam, "subhannallah si mbah ternyata agak."
Para tetangga yang berfikir demikian sebenarnya tak bisa dikatakan murni mendadak berfikir dengan corak yang lebih halus tanpa memfitnah bahwa mbah kiai sudah mulai agak sedeng dengan anggapan, "waduh, mbah kiai sudah mulai sepuh makin pikun ini rupanya." Ada kemungkinan berfikir dengan corak yang begitu rupa, tak mustahil pula, bahkan lebih kejam dari yang kita pikirkan, "nah, makin tua makin tak tau diri ya kayak gini nih."Â
Tapi sepertinya tak sampai kesana beberapa santri yang tetap tawadu' dengan berjalan dibelakang mengekor mbah kiai, berperan menjadi sang komfirmator yang berbisik lirih ke telinga para tetangga yang barusan menyapa mbah kiai, "masyaallah lahaulla walakuwatailla billah mbah kyai tengah mengajarkan kita untuk hidup sederhana tanpa harus berfikir macam-macam soal hidup.Â
Lihat saja kaki beliau tanpa sandal kan? Ini sudah tingkat tinggi ibadahnya gak cuma syariat, thariqat atau sekedar hakikat."
Akhirnya para tetangga yang baru saja diberi bisikan tafsir maknawi, mendadak urung menfitnah kiai yang berlandaskan aspek epistemologi; kondisi umur, kepikunan, dan sindrom-sindrom penyakit yang lazim mendera orang lanjut usia. Dengan menggeser sekelebat corak berfikir dikepalanya dengan ucapan, "masyaallah masyaallah masyaallah."
Sebuah pembahasaan ulang dari sebuah gejala seorang manusia lansia yang beridentitaskan status sosial yang disandang dari masyarakat desa, sebagai seorang kiai, bukan sekedar didapat karena  surat keterangan (SK) lembaga negara tingkat desa sebagai tukang dakwah, di siang bolong agak berawan tapi tetap panas, mendadak pulang dari langgar desa berjalan kaki tanpa beralaskan sandal.Â
Menjadi tanda baru yang sepertinya akan menjadi simbol baru pula yang mungkin diberi istilah oleh para santrinya yang tiap hari nderes kitab kuning ba'dha isya' berjamaah bersama mbah kiai.Â
Gejalanya adalah seorang mbah kiai pulang tanpa alas sandal, tandanya adalah perilaku seorang waliyullah dan istilah dari tanda itu bernama wujud nyata kematangan spiritualitas-kerohanian yang teraksentuasi dalam akhlakul karimah yang super nyeleneh. Pembahasaan ini akan cukup mudah oleh para santri tangkap untuk pahami tanpa harus berfikir hipotetik, atau macam-macam atas perilaku mbah kiai.Â