Kendati pencurian motor mahasiswa bukanlah rekayasa para warga (yang geram) dengan maksud mengusir mahasiswa. Tapi pada akhirnya, mahasiswa juga akan terusir cepat atau lambat, oleh omelan keras warga atau karena tidak betah diganggu lantaran keamanan barang-barang berharga yang dimilikinya.
Dan, semula saya pikir organisasi ekstra parlementer kampus akan memiliki suatu bentuk formula program kerja yang implementasinya langsung tertuju pada pengembangan atau pengabdian masyarakat. Seperti program pengembangan pendidikan yang sifatnya mandiri untuk memfasilitasi masyarakat yang kurang beruntung.Â
Dengan asumsi dasar, lembaga pendidikan mandiri milik organisasi ekstra parlementer kampus itu adalah alternatif dari pendidikan konvensional yang mahal milik negara. Atau sebuah lembaga peradilan dan bantuan hukum yang sifatnya mandiri, dan memilik tujuan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang tak beruntung menghadapi hukum negara yang sarat akan kompromi si empunya modal dan uang. Atau sebuah badan usaha yang bergerak pada mekanisme fasilitator ekonomi masyarakat mandiri yang memiliki regulasi sistem keuangan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya tanpa bayang-bayang takut tagihan pembayaran.Â
Atau sebuah institusi yang bergerak diranah kesehatan masyarakat yang menfasilitasi warga kelas menengah ke bawah dalam ranah pemenuhan kesehatan yang sifatnya preventif dan kuratif, dengan asumsi dasar kesehatan masyarakat yang dijamin pemerintah tidak lebih dari sistem neo-kapitalis berkedok ethic of care. Kesemuanya ini hanya sekelumit konsep ideal yang seharusnya menjadi ukuran tentang hakikat dasar dari keberadaan organisasi ekstra parlementer kampus mahasiswa, yang mengatasnamakan "ekstra parlemen". Dan itu bukanlah utopis, karena ukuran sebuah pencapaian hendaknya merupakan konstruk ideal yang akhirnya memaksa sistem untuk dapat meniru, mengikuti bahkan kalau perlu harus melampaui. Kendati pada kenyataannya organisasi ekstra kampus tak pernah mampu untuk menuju arah itu. Bahkan berfikir tentang itupun tak pernah mampu. Â
Atas dasar ketidakmampuan itu organisasi ekstra parlementer kampus pada akhirnya memilih untuk melihat apa yang bisa dilihat, berfikir tentang hal konkret yang bisa dipikir atau bertindak dengan suatu cara yang tak berprinsip. Dan inilah yang kita maksud sebagai gerakan mahasiswa yang sifatnya populis.
Jika begini jadinya, dapat kita pastikan segala bentuk kegiatan, acara, pagelaran yang diadakan di dalam kampus oleh organisasi intra kampus (yang statusnya dikuasi oleh mahasiswa dari dapur organisasi ekstra parlementer kampus) bukan bertujuan untuk mengedarkan apa yang kita sebut nafas ideasional mahasiswa (yang isinya sebuah tatanan atau sistem berfikir yang tercipta hasil membaca buku dan berdialektika dengan ideologi yang dirawat organisasi mereka). Tapi hanya sebatas keuntungan; uang dan eksistensi belaka, agar mereka dianggap oleh orang lain, tetap ada.
Ini sebuah ironi yang dapat kita saksikan, melihat kondisi organisasi ekstra kampus yang saat ini berorientasi pada wilayah-wilayah atau ruang publik dimana wajah mereka dapat dilihat sebagai gerakan mahasiswa. Coba pahami hal ini. Mereka (ekstra parlementer kampus) memasang sebuah topeng dan mencatut wajah mereka menggunakan make up, agar mampu memainkan dramaturgi di sebuah panggung pementasan sebagai elemen kemasyarakatan yang paling waras, paling kritis, paling elit, paling elegan, paling populer, paling cocok dipilih. Padahal (lihat gerakan-gerakan yang mereka lakukan akhir-akhir ini) tidak lebih bersifat elitis, nol besar dan norak.
Mengapa sedemikian nyinyir kita sebut dengan istilah elitis, nol besar dan norak. Ah, ada yang tertinggal, yakni kampungan. Karena yang mereka edarkan setiap hari yang bertopengkan gerakan mahasiswa adalah gerakan-gerakan populis. Sebuah gerakan yang murni untuk dipublikasikan kendati tanpa ada tujuan yang substansial dan urgen. Hanya ada satu motif tentang gerakan mahasiswa yang populis, yakni agar mereka dianggap ada oleh banyak orang (masyarakat berbagai macam lini). Hal itu dapat kita lihat dari isu-isu yang mereka angkat.Â
Sebenarnya isu populis, tapi mereka mengklaim sebagai isu yang subtansial. Misalnya, mereka kerap kali mengangkat isu-isu yang sebenarnya (tak perlu anda kuliah di perguruan tinggi, atau belajar pemikiran dari tokoh-tokoh besar dari abad dimana filsuf Elea yang diperbincangkan dalam buku yang ditulis Moh. Hatta, sampai kepada pemikian paling anyar mengenai filsafat modern dalam buku karangan Budi F. Hardiman) bisa melakukannya.Â
Contoh: gerakan-gerakan yang mengangkat isu hari-hari monumental yang disepakati dunia, seperti Hari Aids, Hari Bumi, Hari Rokok dan sebagainya. Sebuah gerakan yang hanya menghasilkan hura-hura dan sorak-sorak bergembir semata. Kemudian dokumentasi dengan format selfie, untuk nanti diunggah di media sosial, agar mendapat simpati (yang hanya sebatas simpati). Atau isu-isu pembelaan tokoh yang didakwa kasus korupsi, atau isu-isu transnasional soal kenaikan harga bahan bakar minyak (konteks isu tersebut: justru mahasiswa sering kali keliru, tidak sistematis membaca persoalan, akhirnya ketika demo berlangsung, tak ubahnya sebuah demo yang tak merubah apa-apa).
Kita coba merefleksikan ini bersama-sama, dan mencari tau apa yang melatarbelakanginya. Sungguh disayangkan jika gerakan mahasiswa yang dipelopori oleh organisasi ekstra parlementer kampus yang berbasis paradigma ideologis (yang berkarakterisitik pemikiran dialektis) harus menciptakan suatu bentuk transformasi sosial yang dangkal. Bayangkan saja, siapa sih yang tak mampu membuat demonstrasi berformat refleksi hari ini hari itu? Solidaritas ini solidaritas itu? Bela ini bela itu? Toh ibu-ibu rumah tangga yang urusannya kalau gak dapur, ya dapur bisa melakukannya. Lalu apa yang menjadi khas bagi gerakan mahasiswa.