Saya takut yang kau sebut indah, adalah ketidakmampuanku melihat itu. Tapi aku tetap berusaha meyakinkan diriku bahwa keindahan itu tetap sebagai kebenaran, tentunya objektif.Â
Aku berusaha membaca buku ini pelan-pelan, kupastikan tak ada sebuah kata, kata sambung, tambahan kata yang terlewat, karena aku ragu, ketidakpahamku tentang berlembar-lembar halaman buku yang telah kubaca, jangan-jangan karena ada satu dua kata yang terlewat, terlepas, lalu memangkas pesan si penulis.
Di sudut ruang cafe metropolis, sengaja aku duduk di sebuah bangku membelakangi jalan lalu lalang para pembeli cafe, karena di situ tempat favorit aku duduk, ya karena, biar konsentrasi membaca ini tak buyar, sedikit pula ada perasaan rikuh yang menyesakkan dada.Â
Rikuh itu karena aku takut dianggap sok, naif, terlalu lebay, dan kebanyakan gaya, karena aktifitas membaca buku semacam yang kulakukan ini, sepertinya tak pantas dilakukan di sebuah ruang publik yang biasa digunakan bercakap-cakap santai dengan pasangan, dengan kerabat, selingkuhan, dengan lawan politik, dengan orang tua, atau sanak famili, bercakap-cakap dengan lebih dari 3 orang, yang jelas bercakap-cakap yang tak membutuhkan tenaga berlebih untuk sekedar cukup membuat berkeringat dingin memahami tulisan isi buku.
Ah. Tuh, kan mulai lagi. Aku berfikir buruk terhadap orang lain, berfikir buruk kepada orang lain disaat yang tak beralasan aku memfitnah mereka melalui pikiran. Kenapa hal ini begitu sering ketika aku sedang melakukan aktifitas yang mungkin tak lazim di sebuah cafe, membaca buku, kemudian tak berapa lama pikiran busuk ini menghujam setiap orang-orang yang berkelebatan dibelakang meja tempat ku menaruh kedua siku tanganku yang memegang buku.Â
Menghujam dengan selarik pikiran keji, bahwa mereka yang tertawa menyeringai sedikit tergelak dengan jeritan tak lebih baik dari apa yang tengah saya lakukan, yakni membaca buku.Â
Ah sial, pikiran itu muncul lagi, dan ku sadari pikiran itu selalu muncul memfitnah banyak orang setiap 8 menit aku bertahan menahan konsentrasi dan lirikkan mata tepat dimana huruf-huruf, kosakata dan kalimat-kalimat berjejer rapi dari kiri ke kanan. Setelah 8 menit yang keberapa aku lupa, kini pukul 14.25 WIB sudah 5 jam lebih aku duduk, diam, dengan manis, sendirian, terhuyung membaca buku dengan tenang.
Lelah, memang sudah sedari 1 jam pertama aku rasakan, tapi apa daya, ketika mencoba berhenti dengan melipat pojokan kertas lembar terakhir dimana aku memungkasi sebuah halaman, sekelebat pikiran itu meneracas tak sopan, "kalaupun toh kamu berhenti membaca, lalu kamu mau ngapain pesan satu gelas besar susu soda rasa sirup kelapa warna merah dan membawa buku-buku terbitan Jalasutra dan Mizan."
Ah pikiran itu, membuatku merasa malu, benar-benar malu, memang benar apa yang hendak saya lakukan ketika berhenti membaca, maka akan dipenuhi oleh pikiran-pikiran tak jelas merasuk kepala, pikiran tentang jodoh, pikiran tentang tempat kerja, pikiran tentang pertemanan, pikiran tentang hidup yang akhirnya perlahanku sadari sebagai tekanan. Ah, terlebih lagi sekelumit percakapan dari orang-orang yang bercakap dibelakangku ini, bukan teman atau sanak famili, aku tak mengenal mereka.Â
Tak sekali, bahkan sering, aku harus mendengar informasi-informasi gelap, yang datangnya dari suara-suara lirih dibalik punggungku. Pernah, ku coba acuh suara itu, dengan tetap bersikukuh menahan kantuk dan kejang dipupil mata akibat terlalu lama membaca, tapi apa mau dikata, telinga ini bak jala besar yang rigit-rigit celahnya, mencaplok segala bentuk informasi ucapan, celetukkan dari mulut orang-orang dibalik punggungku.