Mohon tunggu...
LUH MUNI WIRASWARI
LUH MUNI WIRASWARI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Berminat pada isu lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Ngayah di Bali sebagai Manajemen Peran Domestik

12 Juli 2024   21:16 Diperbarui: 12 Juli 2024   21:44 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman yang menjadi titik didih perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,  tak jarang kita melihat perdebatan tentang peran publik seorang perempuan. Namun, bagaimana tentang peran domestik laki-laki? Apakah peran domestik yang dijalankan oleh laki-laki telah setara dengan para perempuan? 

Untuk mencapai kesetaraan gender, kita tidak hanya membutuhkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam peran publik, tetapi juga harus memperhatikan kesetaraan peran domestik yang dimiliki oleh masing-masing gender. Perdebatan mengenai pembagian tugas domestik yang tidak adil dan kaku antara laki-laki dan perempuan di media sosial pun sering terjadi.

Konsep ngayah yang dijalani oleh masyarakat di Bali selama bertahun-tahun berkaitan dengan kesetaraan peran domestik dan merupakan fenomena sosial yang sangat menarik untuk dibahas.  

Pada dasarnya, ngayah merupakan kearifan lokal yang berkaitan erat dengan budaya gotong royong sebagai budaya nusantara. Budaya yang dilandasi oleh Pancasila ini bersifat fleksibel karena masyarakat saling menolong demi tercapainya tujuan bersama, yakni upacara adat (yadnya).

Budaya ngayah telah dilaksanakan masyarakat di Bali bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Sebelum muncul sekolah formal, telah ada sekolah rakyat yang kegiatan belajar dan mengajarnya dilaksanakan di banjar (wilayah administratif di Bali setara dengan RW). Hal ini pula yang menimbulkan adanya sekaa teruna teruni atau karang taruna di tingkat banjar.

Di dalam sistematika ngayah, terdapat pembagian-pembagian tugas berdasarkan gender, yakni antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mendapatkan pembagian yang adil, baik pekerjaan di dapur ataupun dalam menyiapkan sesajen.

Laki-laki biasanya melakukan kegiatan ngerajang (memotong daging, membuat bumbu, hingga mengadukkan lawar), menghias dan mendirikan penjor (umbul-umbul), dan sebagainya. Sementara perempuan biasanya menyiapkan sesajen untuk persembahan dan membantu memasak bahan makanan.

Sejak kecil, anak-anak di Bali sudah diajari untuk mengerjakan pekerjaan yang sudah dibagikan sesuai gendernya. Namun, pekerjaan-pekerjaan ini fleksibel untuk dilakukan oleh siapa saja.

Secara konsep, pembagian ini terlihat adil. Hingga kini pun sistem ngayah masih tetap terus dilaksanakan, baik di rumah maupun di banjar. 

Mengingat konsep ngayah, sepertinya warisan budaya nusantara memiliki pesan moral yang sebenarnya universal dan dapat diterapkan di masa kini. Oleh karena itu, generasi muda perlu melestarikan budaya dan nilai-nilai nusantara dalam kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun