Hari Raya Kuningan merupakan hari raya Umat Hindu yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan. Dalam rangkaian Hari Raya Kuningan tentunya dirayakan tidak luput dari hal sekala maupun niskala.Â
Hari Raya Kuningan seringkali disamakan dengan Hari Raya Galungan karena jaraknya yang berdekatan sehingga disebut Galungan-Kuningan, padahal keduanya memiliki filosofi yang berbeda.Â
Pada Hari Raya Galungan dipercayai bahwa Pitara-Pitari turun ke bumi untuk melihat saudaranya, namun sebaliknya pada Hari Raya Kuningan Pitara-Pitari kembali ke alamnya sehingga dilakukan serangkaian upacara.Â
Dengan demikian maka Hari Raya Kuningan pantang dilaksanakan diatas jam 12 siang atau setelah rajeg surya yang kerap kali disebut ngelangkarin surya. Hal ini dikarenakan sebuah mitologi yang dipercayai akan umat Hindu yaitu istilah "Dewa Berung".
Dewa Berung merupakan sebuah istilah untuk sosok dewa yang kotor dan bau yang berkaitan dengan Hari Raya Kuningan, meskipun terkadang istilah ini disebut kurang etis apabila disandingkan dengan Tuhan namun perlu kita ketahui bahwa hal tersebut menjadi salah satu sifat-sifat kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi dan dengan adanya istilah Dewa Berung tersebut dapat memperingati umat Hindu untuk melaksanakan bhakti secara tepat waktu dan tidak mengulur waktu. Waktu yang baik untuk melaksanakan bhakti Hari Raya Kuningan ialah sebelum matahari terbit karena dianggap waktunya Widhi.
Selain sebagai Hari Raya besar, Hari Raya Kuningan kerap kali disebut hari intropeksi diri karena Hari Raya Kuningan juga disebut Tumpek Kuningan. Dimaknai dengan Tumpek Kuningan sehingga beberapa umat Hindu mempercayai akan adanya peringatan untuk merayakan tumpek lainnya atau istilahnya dedinan, sehingga umat Hindu yang memiliki sradha akan tersebut maka melakukan Bhakti untuk nunas tirta wewalungan. Tirta Wewalungan merupakan Tirta yang berfungsi sebagai penglukatan apabila memiliki peliharaan yang biasanya diupakarai ketika tumpek.
Bertepatan dengan Saniscara Kliwon sehingga menjadikannya sebagai Tumpek, maka upakara dalam pelaksanaannya sudah pasti lebih banyak, oleh karena itu Hari Raya Kuningan sering disebut rumit.Â
Dalam sarana dan prasarananya, Hari Raya Kuningan menggunakan tebog ataupun sulangi sebagai tempat atau wadah ditatanya nasi kuning yang akan dihaturkan. Demikian pula dengan hiasan yang digunakan pada Hari Raya Kuningan yaitu ada tamiang, kolem, capah, ceniga, dan lain sebagainya sesuai dengan sima setempat.Â
Masing-masing hiasan tersebut dipasang tidak hanya karena nilai estetikanya saja, namun juga memiliki makna yang sangat mendalam yaitu sebagai simbol Hari Raya Kuningan dan bertujuan untuk memohon perlindungan ataupun keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Â
Tak luput dari ciri khas, pada Hari Raya Kuningan juga identik dengan memakai don kayu Pidpid, hal tersebut diyakini lebih etis ketika digunakan pada Hari Raya Kuningan, namun hal tersebut kembali lagi kepada Sradha masing-masing umat.
Melalui Sradha Bhakti Umat Hindu, sehingga rangkaian pelaksanaan Kuningan kerap kali berbeda di setiap wilayahnya, namun maknanya tetap sama. Hari Raya Kuningan memiliki makna kauningan, sehingga segala sarana dan prasarana identik dengan warna kuning yang berarti kemakmuran. Oleh karena itu, sebelum segala upakara dihaturkan maka hendaknya disucikan terlebih dahulu melalui warna kuning alami yaitu dari gerusan kunyit.Â
Beberapa umat Hindu mempercayai Bahwa pada Hari Raya Kuningan ialah medal Bhatara Istri, sedangkan pada Galungan ialah Bhatara Lanang, sehingga pada Hari Raya Kuningan tak jarang kita lihat lebih meriah dan hiasannya lebih cantik seperti layaknya seorang wanita.
Terlepas dari Bhakti pada Hari Raya Kuningan, ada pula rangkaian tradisi yang berjalan di tengah-tengah rangkaian Hari Raya Kuningan, namun tradisi ini tentunya tidak terikat akan waktu, artinya masih dapat dilaksanakan diatas jam 12 siang.Â
Salah satu tradisi yang berjalan ialah tradisi Nyatur Desa. Tradisi ini hanya terlaksana di beberapa wilayah saja dan tradisi ini bertujuan menolak bala serta menyemarakkan Hari Raya Kuningan akan kemeriahannya. Nyatur Desa merupakan sebuah rangkaian kegiatan ngiring sesuhunan macecingak ke empat desa yang berada dari arah mata angin yang berbeda yaitu tengah ke utara, tengah ke barat, tengah ke timur, dan tengah ke selatan.
Selain tradisi Nyatur Desa, adapula tradisi natab prayascita ataupun sambutan yang hanya dilakukan di beberapa wilayah saja sesuai dengan Sradha masyarakat setempat, natab tersebut bertujuan untuk penyucian diri terhadap Bhatara maupun Pitara-Pitari. Dengan berbagai rangkaian kegiatan tersebut, maka berakhir pula Hari Raya Kuningan, namun Galungan-Kuningan masih terangkai hingga terputus ketika Hari Buda Kliwon Pegatwakan tiba.
- Ni Luh Listya Purnami (Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah/Pendidikan Bahasa Bali) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H