Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Seandainya Saya Menag, Ini 4 Cara Lawan Hoaks

4 Agustus 2018   11:20 Diperbarui: 5 Agustus 2018   08:50 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang perempuan kampanye anti hoaks di Kalimantan Barat 22 Juli 2018 lalu. FOTO: https://www.instagram.com/hoaxcrisiscenter/

Seandainya saya sekarang jadi Menteri Agama (Menag), saya juga akan pusing memikirkan fenomena kabar hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Beberapa tahun belakangan, fenomena ini menjadi tren. Pihak yang tidak bertanggungjawab sengaja menyebarkan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk meraih kepentingan pribadinya.

Parahnya, mereka juga tidak segan menyebarkan hoaks bernada ujaran kebencian yang menyinggung suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Sebab, barangkali dari hasil riset mereka, hoaks bertema SARA banyak diminati masyarakat.

Celakanya, dampak dari hoaks SARA ini cukup besar bagi masyarakat. Hoaks semacam ini bisa berpotensi merubah pikiran orang menjadi radikal, permusuhan antara SARA dan dapat memecah belah bangsa. Nah, sebagai menteri, saya tentunya juga harus berpikir bagaimana cara mengantisipasinya. Tentunya sesuai kapasitas saya sebagai Menteri Agama. Berikut empat cara yang akan saya lakukan terlebih dahulu untuk menangkal kabar hoaks dan ujaran kebencian.

1. Mendukung Penegak Hukum Proses Penyebar Hoaks dan Pengujar Kebencian SARA

Dua terdakwa penyebar hoaks dan ujaran kebencian diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya akhir ini. Terdakwa pertama Moch. Faisal Arifin alias Itong. Anggota ormas ini melalui akun Facebooknya bernama Bang Itong sebelumnya membagikan ulang postingan dari akun lain dengan kalimat yang dianggap merendahkan Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) Said Aqil Siradj pada pertengahan 2017 lalu.

Dua pekan lalu, majelis hakim memvonisnya tujuh bulan penjara. Postingan itu dianggap majelis dapat menimbulkan konflik suku, agama, ras (SARA). Itong dinyatakan terbukti melanggar Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 Undang-undang RI Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE)

Terdakwa kedua Dwi Handoko. Mirip dengan kasus Itong, mahasiswa perguruan tinggi swasta kesenian di Surabaya ini diadili karena menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Melalui akun Instagramnya, dia mengunggah gambar yang berisi tulisan menyamakan Tuhan dengan dajal. Pekan lalu, Jaksa penuntut umum (JPU) Agung Rokhaniawan menuntut terdakwa dua tahun penjara. Dia juga dianggap melanggar pasal yang sama dengan Itong.

Diadilinya dua terdakwa perkara ITE ini menunjukkan jika proses hukum terhadap penyebar hoaks dan pengujar kebencian di medsos terus berjalan. Seandainya saya jadi Menteri Agama, saya akan mendukung penuh penegak hukum dalam perkara ini. Dukungan yang bisa diberikan di antaranya dengan menyiapkan ahli agama untuk menjadi saksi dalam proses penyidikan di kepolisian sampai persidangan di pengadilan.

Penegak hukum tanpa bantuan ahli agama tentu tidak bisa menyimpulkan sendiri apakah perbuatan pelaku menyinggung SARA atau tidak. Di sini peran Kemenag sangat dibutuhkan untuk membantu menyiapkan ahli agama sebagai saksi ahli. Kemenag memiliki peran yang lebih baik karena melingkupi enam agama yang diakui negara. Karena itu dengaj kewenangannya akan lebih mudah untuk menyiapkan ahli agama dari semua agama. Sebagai Menag, saya akan mendukung penuh upaya ini.

2. Standarisasi Pemuka Agama

Tidak dipungkiri, penyebaran ujaran kebencian dan hoaks sebagian dilakukan oleh pihak-pihak yang mengklaim sebagai pemuka agama. Saat mereka mengatasnamakan dirinya sebagai pemuka agama, akan banyak pengikutnya yang percaya terhadap setiap ucapan yang keluar dari mulutnya. Entah ucapan itu benar, baik atau tidak. Apalagi kalau ujaran kebencian dan kabar hoaks itu disampaikan di tempat-tempat ibadah akan lebih banyak dipercaya meskipun kenyataannya tidak benar. Sebab, penilaian pemuka agama sebagai representasi dari agama itu terus melekat.

Seandainya saya jadi Menag, saya akan membuat standar untuk pemuka agama. Siapa saja yang berhak berceramah dan materi apa saja yang bisa disampaikan di tempat-tempat ibadah perlu ada standarnya. Misal saja, pemuka agama akan mendapatkan sanksi apabila melanggarnya. Tentu saja standarisasi ini perlu melibatkan banyak pihak, termasuk lembaga agama seperti kalau di Islam bisa melibatkan MUI, melibatkan PHDI di Hindu dan lainnya.

Saya juga akan meneruskan program Menag Lukman Hakim Saifudin yang sebelumnya telah merilis 200 daftar nama penceramah Islam yang direkomendasikan Kemenag. Rekomendasi ini perlu dilakukan karena selama ini belum ada standarisasi yang jelas mengenai pemuka agama. Siapa saja bisa mendaku sebagai pemuka agama, sekalipun masih belum berkompetensi.

Dengan banyaknya pemuka agama, menjadikan masyarakat bimbang untuk menentukan siapa penceramah yang baik. Apalagi bagi mereka yang awam terhadap agama. Niat hati ingin belajar agama, tetapi justru salah pilih guru agama. Jangan sampai ketika ingin belajar agama dengan mendatangkan penceramah, yang diundang justru penceramah tidak baik yang suka menyebarkan hoaks dan berujar kebencian di tempat ibadah. Rekomendasi penceramah ini juga akan saya berikan untuk agama-agama lain.

3. Memadukan Pelajaran Agama dan PPKn

Teman saya pernah bercerita kalau anaknya yang masih SD sering diolok teman-teman sekolahnya dengan julukan 'c*na kafir' karena berwajah oriental. Saya dan teman saya tinggal di satu desa di Jawa Timur. Kebetulan teman saya keluarganya berbeda suku dan agama dengan mayoritas masyarakat. Kepada orangtuanya, anak itu mengatakan kalau teman-temannya itu mengoloknya setelah diajari guru agamanya.

Disadari atau tidak, ujaran kebencian tidak saja terjadi di medsos, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan pelakunya juga anak-anak yang diajari gurunya. Setiap ucapan guru akan dipercaya sebagai kebenaran oleh siswanya karena tugasnya sebagai pendidik.

Seandainya saya jadi Menag, saya akan mengidentifikasi setiap guru agama secara berkala. Jika guru agama berpotensi memiliki pemahaman radikal, maka akan segera diberhentikan. Memberikan pelajaran agama juga tidak bisa hanya secara tekstual, tetapi juga harus menyesuaikan dengan konteks dinamika masyarakat kekinian.

Saya juga akan bekerjasama dengan Mendikbud. Saya ingin memadukan pelajaran agama dengan pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn). Tujuannya agar para siswa selain mereka taat beribadah, juga bisa saling tenggang rasa, toleransi kepada sesama dan memiliki rasa cinta tanah air.

4. Merekrut Relawan Penangkal Hoaks

Kekinian sudah banyak masyarakat dari  berbagai latar  belakang  menjadi pengguna smartphone. Mereka yang sebelumnya awam dengan teknologi mulai mencoba bermain media sosial seperti Facebook sampai WhatsApp (WA). Banyak informasi yang kemudian mereka terima. Mereka yang tidak tahu menjadi tahu, lalu membagikan ulang informasi itu kepada temannya melalui media sosial agar temannya menjadi tahu. Meskipun mereka tidak tahu informasi itu benar atau hoaks.

Salah satu informasi yang sering paling diminati oleh pengguna media sosial adalah tentang tema agama. Informasi ini banyak beredar seiring tingginya niat masyarakat untuk menjadi religius. Dari satu akun ke akun lain, informasi itu beredar cepat. Meskipun kemudian diketahui sebagian dari informasi itu ternyata hoaks belaka.

Celakanya, informasi itu baru ketahuan hoaks setelah beredar luas. Banyak dari mereka yang tidak tahu kabar hoaks itu kemudian mempercayainya sebagai fakta. Menyebarkan lagi ke teman-temannya, sampai tidak hanya di medsos, tetapi juga di kehidupan nyata. Celakanya lagi, informasi hoaks itu berisi tentang ujaran kebencian.

Seandainya saya jadi Menag, saya akan merekrut relawan. Tujuannya untuk menangkal kabar-kabar hoaks agar tidak beredar luas di masyarakat. Sekaligus juga berperan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang gerakan anti hoaks. Relawan ini akan memberikan informasi melalui media sosial tentang ciri-ciri informasi hoaks dengan konten-konten yang menarik dan mudah dimengerti. Dengan demikian, masyarakat yang masih kesulitan memebdakan informasi hoaks atau benar akan lebih mudah mengidentifikasi informasi yang mereka terima di medsos.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun