Haji Husaini (86) yang duduk di kursi saksi kebingungan ketika majelis hakim mulai bertanya kepadanya di Pengadilan PTUN Surabaya, Rabu (21/3) lalu. Dia rupanya hanya bisa berbahasa Jawa dan tidak bisa memahami kalimat berbahasa Indonesia yang diucapkan hakim.
"Kulo sekolah wonten SR (Sekolah Rakyat) zaman Londo, mboten saget bahasa Indonesia (Saya sekolah di SR zaman Belanda tidak bisa Bahasa Indonesia)," katanya.
Pengakuan Husaini membuat tiga majelis hakim, Muhammad Ilham, Fajar Wahyu Nugroho dan Andri Nugroho sempat kelimpungan. Fajar yang menjadi ketua majelis hakim, dengan bahasa Jawa yang sedikit bisa dipahaminya berusaha menjelaskan kepada Husaini kalau pihaknya sedang mencari ahli bahasa.
Selang beberapa lama kemudian, petugas PTUN berhasil mendatangkan Eko Prasetyowati. Wanita ini sebenarnya panitera pengganti, tetapi karena sulit mencari orang yang bisa berbahasa Jawa krama inggil di persidangan tersebut, dia diminta menjadi ahli bahasa dalam persidangan tersebut
Dengan dipandu Eko sebagai penerjemah, Husaini tampak lancar menyampaikan kesaksian kepada majelis hakim. Sampai akhirnya hakim menganggap keterangan cukup, dan dia dipersilakan meninggalkan ruang sidang.
Eko mengatakan, selama persidangan di PTUN memang ada beberapa saksi yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Namun dia tidak selalu yang ditunjuk sebagai ahli bahasa. "Misal kalau bahasa Madura saya akan gak bisa, ya yang lain, kalau pas bahasa Jawa saya lagi ada sidang ya biasanya yang lain," tuturnya.
Husaini menjadi saksi dalam sidang gugatan Paiman (70) terhadap Lurah Asemworo Asnafi terkait kepemilikan lahan 14 hektar di kelurahan tersebut. Kuasa hukum tergugat, Moch Mas'ud mengatakan, kliennya yang mengklaim sebagai pemilik tanah tersebut tidak tahu kalau tanah tersebut kepemilikannya telah dipindahkan bukukan atas nama orang lain, yakni Munafiah B Munayah. Dia kemudian menggugat lurah sebagai orang yang bertanggung jawab memindahkan bukukan kepemilikan tanah.
Husaini yang asal Lamongan dihadirkan sebagai saksi karena dahulu pernah bekerja sebagai penggarap saat tanah itu masih menjadi tambak. Dia dianggap mengetahui sejarah asal usul kepemilikan tanah tersebut. "Kami tidak ada masalah dengan keterangan saksi meskipun tidak bisa bahasa Indonesia, karena apa yang disampaikan merupakan fakta apa yang dilihat, didengar dan diketahui," ujar Mas'ud.
Begitupula kuasa hukum tergugat, Bagus Tirta yang mengaku tidak kesulitan mencerna keterangan saksi yang berbahasa Jawa. "Karena sudah diterjemahkan sama ahli bahasa bisa kami cerna, nanti keterangan saksi ini kami cocokkan dahulu dengan keterangan Pak Lurah," ujar Bagus. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H