Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Peran BPK Wujudkan Mimpi Masyarakat Miliki Rumah Subsidi Layak Huni

6 Januari 2018   11:36 Diperbarui: 8 Januari 2018   12:41 1690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017 menemukan fakta sebanyak 5.108 unit rumah subsidi belum ditempati penghuni yang telah membelinya. Temuan ini bersumber dari cek fisik oleh tim terhadap 538 unit dan 4.570 unit dari laporan Bank Tabungan Negara (BTN). Kasus semacam ini tidak dibenarkan karena sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), debitur wajib memanfaatkan rumah sejahtera secara terus-menerus dalam waktu satu tahun.

Rumah-rumah subsidi belum berpenghuni ini ditemukan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan instansi terkait lainnya. Ini setelah BPK memeriksa pengelolaan kredit pemilikan rumah (KPR) Sejahtera dan subsidi selisih angsuran (SSA)/subsidi selisih bunga (SSB) oleh BTN untuk menilai efektivitasnya. Meskipun secara umum BTN sudah bekerja dengan baik tetapi BPK menemukan 10 temuan dengan 14 permasalahan yang di antaranya 12 ketidakefektifan, satu potensi kerugian senilai Rp 7,60 miliar dan satu kekurangan penerimaan senilai Rp 366,01 miliar.

Rumah subsidi tidak berpenghuni menjadi salah satu dari 14 permasalahan yang ditemukam BPK. Permasalahan ini mengakibatkan pencapaian tujuan program pemerintah dalam memberikan bantuan penyediaan rumah kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) kurang efektif dengan masih adanya rumah yang tidak dihuni, dialihkan, dan proses dialihkan serta debitur/nasabah berpotensi tidak membayar tunggakan karena kewajiban sudah dialihkan kepada pihak lain. Setelah ditelusuri penyebabnya ternyata karena BTN Kantor Cabang belum melaksanakan ketentuan terkait dengan pemanfaatan rumah KPR Sejahtera FLPP dan SSA/ SSB secara optimal dan Bank BTN tidak melaksanakan ketentuan pasal 62 huruf d Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2016.

Sementara BTN menanggapi temuan itu dengan menyatakan bahwa pengelolaan rumah subsidi telah berdasarkan Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2016 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri PUPR No. 26/ PRT/M/2016. Bank juga sudah melakukan edukasi kepada calon debitur KPR Bersubsidi. Untuk pelaksanaan pengawasan dan pemantauan program KPR Sejahtera dan KPR SSB/ SSM menyatakan bahwa kegiatan pengawasan dan pemantauan dilaksanakan oleh Pemerintah (Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan dan PPDP). 

BPK lantas merekomendasikan para kepala kantor cabang untuk membentuk tim pemantauan pemanfaatan rumah dan melaporkan hasilnya secara periodik kepada BLU PPDPP, sehingga BLU PPDPP dapat mengambil tindakan sesuai dengan kewenangan apabila terdapat indikasi penyimpangan dalam pemanfaatan rumah serta melaksanakan ketentuan pasal 62 huruf d Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2016 dan secara bulanan melaporkan kepada BLU PPDPP.

Permasalahan rumah subsidi tidak berpenghuni ini menjadi salah satu yang paling kompleks. Temuan ini tidak saja perkara BPK kawal harta negara yang berhasil menyelamatkan miliaran uang negara, melainkan juga menyangkut kesejahteraan rakyat. Permasalahan masyarakat yang enggan menempati rumah subsidinya sebenarnya sudah lama terjadi dan mereka memiliki alasan mengapa tidak segera menempatinya.

Seorang Kompasianer, Sigit dalam tulisan "'Oknum' Rumah Subsidi yang Buat Masyarakat Tidak Lekas Menempati Rumah" mengungkapkan beberapa alasan. Salah satunya karena kualitas bangunannya yang dianggap tidak layak huni. Barangkali karena disubsidi pemerintah, pengembang terkesan mengerjakannya asal-asalan. Meskipun secara fisik bangunan sesuai kriteria pemerintah yang seluas 25 meter persegi dengan luas tanah 60 meter persegi dan terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan satu ruang kelaurga tetapi kualitasnya berbeda.

Buruknya kualitas bangunan ini akhirnya membuat permasalahan baru, yakni rumah tidak dihuni setelah dibeli. Tujuan pemerintah menyediakan rumah untuk MBR akhirnya tidak tercapai karena rumah subsidi itu nyatanya sebagian juga dibeli masyarakat mampu dengan kepentingan investasi. Mereka membeli tidak untuk ditempati melainkan untuk dijual kembali. Tidak heran kalau banyak ditemukan rumah yang tidak terawat.

Permasalahan lainnya adalah sulitnya mendapatkan rumah bersubsidi yang baik. Seorang masyarakat dalam laporannya di lapor.go.id menuliskan kalau harga rumah subsidi maksimal hanya Rp 115 juta tidak sesuai dengan kenyataan. Ia yang mendaku sebagai MBR dan sedang mencari rumah subsidi di Jawa Barat kesulitan mencari rumah seperti yang dijanjikan pemerintah. Setiap pengembang di brosur promosi menuliskan uang muka yang ringan tetapi setelah negosiasi masih banyak biaya-biaya lain yang harus dibayarkan sehingga kalau dikalkulasi harga rumah subsidi masih tidak terjangkau.

"Bisa dilihat pada lampiran yang saya cantumkan bahwa DP yang bahkan setelah dipotong UMP Jamsostek sebesar Rp.20.000.000 pun masih mencapai 15jt rupiah. Terlebih lagi ketika saya menanyakan biaya administrasi yang mencapai lebih dari 10jt rupiah marketing tersebut sendiri tidak mengetahui untuk apa," tulisnya. 

Kalaupun ada yang harganya murah, lokasinya jauh dari tempat kerja dan rawan kejahatan sehingga biaya yang harus dikeluarkan lebih tinggi. Ia berharap harga yang telah ditetapkan pemerintah sudah termasuk biaya lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun