Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Petani Menjadi Tuan dengan Dana Desa

1 Desember 2017   12:35 Diperbarui: 2 Desember 2017   16:12 2916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia lalu menjadikan pertanian organik yang terintegrasi sebagai ideologi baru bagi para petani dengan prinsip tidak boleh ada yang terbuang dalam proses produksi. Mereka menggunakan benih lokal, yang ternyata lebih tahan hama ketimbang benih hibrida. Jika dimakan tikus misalnya, batang padi tersebut masih bisa tumbuh dan menghasilkan walaupun tidak sebaik padi yang tidak dimakan tikus.

Para petani menjual beras mereka kepada Paguyuban Al Barokah dan dihargai Rp 9.000 per kilogram. Di paguyuban, beras organik tersebut digiling dan dikemas untuk dikirimkan ke beberapa tempat, seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, dan Surabaya. Sisa panen seperti bekatul mereka olah menjadi minuman yang diyakini berkhasiat bagi penderita diabetes. Sekam dari padi pun diproses menjadi bio-arang sekam.

Petani juga memelihara ternak karena kotorannya bisa dimanfaatkan menjadi biogas dan ampasnya diolah menjadi pupuk organik. Dengan begitu petani nyaris tidak perlu mengeluarkan biaya operasional, dan hanya mengeluarkan ongkos untuk biaya transportasi, sewa lahan, dan upah buruh. Ini berbanding terbalik dengan petani konvensional yang harus membeli benih, pupuk, dan pestisida.

Namun di sisi lain keterbatasan sumberdaya, ketiadaan modal dan tuntutan hidup membuat banyak petani enggan atau tidak bisa untuk melakukan inovasi pertanian seperti yang dilakukan Mustofa. Mengingat inovasi membutuhkan penelitian dan percobaan yang tidak langsung membuahkan hasil, sedangkan kebutuhan hidup menuntut mereka untuk terus berproduksi dan menghasilkan uang meskipun setiap kali panen hasilnya dirasa masih kurang. Pertanian organik misalnya, tidak banyak digunakan petani karena hasil panennya yang lebih lama dibandingkan menggunakan pestisida. Meskipun kualitasnya lebih baik. Namun sebagian besar petani berpikir pragmatis bagaimana caranya bisa cepat panen dan bisa mendapatkan hasil.

Kalaupun ada petani yang mau berinovasi itu hanya beberapa orang saja atau satu dua kelompok petani saja. Untuk mendorong inovasi pertanian secara masif diperlukan keterlibatan pemerintah. Salah satunya melalui optimalisasi pemanfaatan dana desa. Dana desa pada dasarnya diberikan oleh pemerintah pusat untuk memeratakan pembangunan antara desa dan kota sehingga tidak muncul kesenjangan. Untuk itu, diterbitkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Melalui UU ini, pemerintah desa memiliki kewenangan yang lebih besar untuk melakukan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan keuangan desa dalam rangka pembangunan di desa.

Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, terlihat anggaran Dana Desa terus mengalami peningkatan. Tahun 2015 sebesar Rp 20 triliun, 2016 Rp 47 triliun dan tahun 2017 ini Rp 60 triliun. Dengan nilai itu setiap desa rata-rata menerima dana desa Rp 400 sampai Rp 800 juta. Peningkatan anggaran dan realisasi ini sesuai dengan arah kebijakan pemerintah berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam UU tersebut disebutkan pemerintah secara bertahap akan meningkatkan alokasi dana desa.

Di samping itu, pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memprioritaskan dana desa pada 2017 untuk membangun sektor pertanian. Ini setelah dua tahun terakhir dana desa difokuskan untuk infrastruktur jalan dan pembangunan sarana pendidikan yang kini dianggap sudah mulai cukup. Terlebih sekitar 80 persen wilayah di Indonesia merupakan sektor pertanian yang tersebar di desa-desa.

Pemerintah desa bisa memanfaatkan dana desa untuk berinovasi melibatkan akademisi untuk meningkatkan hasil produksi pertanian. Di samping itu juga bisa digunakan untuk membangun sarana penunjang pertanian seperti misalnya saluran irigasi. Dengan begitu hasil produksi pertanian semakin besar. Kalau sudah begitu selanjutnya bisa diupayakan untuk membangun wirausaha pengelolaan pasca panen sehingga hasil pertanian bisa dipasarkan sebagai produk yang sudah matang. Tidak lagi hasil panen dibiarkan membeludak lalu dihargai murah tengkulak. Ketika petani sudah bisa mandiri dengan produk hasil dari pengolahan pasca panen, pemerintah perlu membantu menghubungkan mereka dengan dunia usaha. Dengan begitu petani tidak begitu bergantung kepada tengkulak.

Keberhasilan petani berwirausaha dengan mengelola hasil panen menjadi sebuah produk juga bisa menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar untuk dipekerjakan. Masyarakat desa selain petani jadi bisa bekerja. Dengan lapangan pekerjaan baru itu akan turut mengurangi pengangguran sehingga masyarakat desa tidak harus ke kota untuk mencari pekerjaan.

Petani diharapkan nantinya tidak lagi identik dengan kemiskinan karena sudah bisa mandiri mengolah hasil panen dan memasarkannya. Sejahteranya petani dengan sendirinya akan menarik minat banyak orang untuk menjadi petani. Sarjana-sarjana akan kembali ke desa untuk bertani dan menciptakan inovasi-inovasi baru. Tidak ada lagi petani yang menjual lahannya karena merugi. Bahkan lahan-lahan yang sebelumnya digunakan untuk properti di pinggiran perkotaan bisa saja diubah menjadi lahan pertanian karena dianggap lebih menguntungkan. Anak-anak muda berbondong belajar di perguruan tinggi untuk belajar ilmu pertanian. Tidak ada lagi impor komoditas pertanian, yang ada negara mengekspornya ke banyak negara. Petani menjadi profesi yang disegani dan tidak ada lagi orang-orang yang merendahkan profesi petani. Dengan dana desa, mereka pun menjadi tuan di negeri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun