Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Terlupa dari Fenomena Kampung Warna-warni

14 September 2017   10:21 Diperbarui: 15 September 2017   06:54 4294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu tahun lalu, delapan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) merealisasikan idenya menjadikan perkampungan kumuh di bantaran Sungai Brantas di Kelurahan Jodipan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang menjadi lebih bersih dan nyaman dipandang. Nabila Firdausiah, Salis Fitria, Ira Yulia Astutik, Sunni Anggraeni, Wahyu Fitria, Elmy Nuraidah, Fahdi Afdallah dan Ahmad Wiratman kemudian mulai mengecat lebih dari 90 rumah di RT 6, 7 dan 9/ RW 2 dengan beraneka warna setelah berhasil bekerja sama dengan perusahaan cat.

Sedikitnya dua ton cat beraneka warna dihabiskan dan hasilnya cukup memuaskan. Perkampungan di timur bawah jembatan Jalan Gatot Subroto yang sebelumnya kumuh dan tidak nyaman dipandang kini telah berubah menjadi lebih bersih. Nabila mengungkapkan kalau ide itu muncul setelah terinspirasi dengan Kampung Kickstarter di Rio Janeiro Brazil dan Kota Cinque Terre di Italia. Anak-anak muda mulai berdatangan untuk berswafoto dari atas jembatan Jalan Gatot Subroto berlatar kampung yang sudah dicat beraneka warna ini dan hasilnya diunggah di media sosial.

Kabar ini beredar cepat, dari foto-foto yang diunggah di media sosial, anak-anak muda lain datang ke kampung itu untuk berswafoto dan hasilnya diunggah di media sosial. Anak-anak muda lain yang belum berswafoto ingin mengunjungi kampung itu dan begitu seterusnya. Sampai kabar keberadaan kampung ini viral (beredar luas) di media sosial. Anak-anak muda lain dari luar Malang penasaran dan mengunjungi kampung ini sekadar untuk berswafoto. Saking banyaknya yang berswafoto Jalan Gatot Subroto macet karena selain pengunjung yang memadati pinggir jembatan, sepeda-sepeda motor juga diparkir begitu saja di pinggir jalan. Warga mulai menata parkir dan sebagian lain mencoba peruntungan rezeki dengan membuka warung/toko kelontong kecil-kecilan untuk berjualan apa saja.

Hasil pendapatan parkir dan berjualan apa saja tadi lumayan, warga mulai menikmati rezeki dari perubahan di kampungnya. Dirawatnya kampung itu agar pengunjung yang datang tidak kapok. Sampah-sampah yang sebelumnya berserakan di sungai kini tidak ada. Pemerintah Kota (Pemkot) Malang mulai membuka mata dan menjadikan kampung itu sebagai destinasi wisata baru Kota Malang. Mereka sepakat menamai kampung itu dengan nama Kampung Warna-warni. 

Wali Kota Malang, M Anton bangga karena tanpa harus bekerja keras, kota yang dipimpinnya sudah dikenal luas. Dalam setiap kunjungan ke kota-kota lain sampai negara-negara lain ia tidak segan mengungkapkan kebanggaannya tentang kampung yang sebelumnya kumuh kini menjadi menarik dan banyak dikunjungi orang. Begitu pula saat berkesempatan berdialog dengan warganya ia terus mendorong kampung-kampung lain agar meniru kesuksesan Kampung Warna-warni.

Kampung-kampung lain di Kota Malang dengan kreativitasnya masing-masing mulai mencoba peruntungan dengan meniru Kampung Warna-warni. Ada yang mengecat dengan model mural atau graffiti, model batik dan sebagainya. Warga mulai peduli dengan kampungnya yang salah satunya dengan menjaga kebersihan sehingga terlihat lebih asri. Sementara kota-kota lain juga banyak yang meniru kesuksesan Kampung Warna-warni seperti di Banyuwangi, Situbondo, Semarang, Bandung dan masih banyak lagi. Dengan didukung pemerintah daerah setempat, warga mulai mengecat beraneka warna kampung-kampungnya, terutama yang berada di bantaran sungai dan kawasan kumuh lain. Bahkan Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan berencana mengecat beraneka warna rumah-rumah di bantaran sungai Jakarta yang menjadi penyebab utama banjir daripada menggusurnya.

Sampai kini kampung warna tetap eksis bahkan jumlahnya semakin bertambah dan menjadi fenomena baru. Ini karena budaya masyarakat dalam bermedia sosial yang selalu berusaha berswafoto di spot-spot foto baru yang menarik untuk menunjukkan eksistensinya sebagai masyarakat yang kekinian. Dengan semakin banyak berswafoto di spot-spot baru yang menarik maka status sosial seseorang di masyarakat akan meningkat. Di sisi lain masyarakat yang kampungnya memiliki potensi akan berusaha menjadikannya sebagai spot foto baru yang menarik. Dengan begitu akan banyak orang yang berkunjung dan tentu saja akan memberikan dampak positif perekonomian masyarakat. Orang yang berkunjung pastinya akan berbelanja apa saja atau setidaknya membayar parkir kendaraan bermotornya.

Beberapa waktu lalu di barat jembatan Jalan Gatot Subroto Kota Malang atau seberang Kampung Warna-warni, Pemkot Malang mengecat perkampungan kumuh serupa berwana biru-biru. Tentu saja ini sebagai satu upaya untuk meniru segala kesuksesan tetangga kampungnya. Namun ada yang terlupa dari fenomena kampung warna ini. 

Beberapa bulan lalu sejumlah mahasiswa mancanegara berkunjung ke Kampung Warna-warni untuk sebuah riset. Namun mereka mengaku tidak menemukan sesuatu apapun di kampung itu. Mereka hanya melihat rumah-rumah dicat beraneka warna, warga yang menata parkir dan sebagian warga berjualan apa saja. Bagi mereka itu sama saja dengan kampung-kampung serupa di banyak negara lain yang sudah jauh lebih dulu sudah bercat beraneka warna begitu.

Pedagang Gulali menunggu pembeli yang berkunjung di Kampung Warna-warni Juanda, Kelurahan Jodipan, Kota Malang, Rabu (31/8/2016). SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO
Pedagang Gulali menunggu pembeli yang berkunjung di Kampung Warna-warni Juanda, Kelurahan Jodipan, Kota Malang, Rabu (31/8/2016). SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO
Harapan untuk menemukan kearifan lokal di kampung warna itu sia-sia. Sejak dicat warna-warni kampung itu memang memberikan dampak positif bagi masyarakatnya. Mereka lebih sadar untuk menjaga kebersihan dan dengan dicat kampung itu menjadi lebih bersih. Ini patut diapresiasi. Namun tidak ada kekhasan atau potensi masyarakat di kampung itu yang berbeda dengan kampung lain. Orang-orang yang berkunjung hanya sekedar berswafoto dengan latar bangunan fisik bercat lalu mengunggahnya di media sosial dan pulang. Tidak lupa sebelum pulang mereka membayar parkir sekian ribu dan berbelanja air mineral dan makanan ringan yang dijual warga.

Kini fenomena kampung warna masih ramai karena berswafoto masih menjadi tren kekinian. Warga kampung warna masih menikmati. Namun kelak bisa saja tren swafoto semacam ini akan mulai ditinggalkan karena orang-orang sudah bosan melakukannya. Mengingat swafoto dan media sosial hasil dari perkembangan teknologi dan teknologi berkembang sangat cepat. Spot-spot foto semacam kampung warna bisa saja kelak akan ditinggalkan karena tren swafoto sudah bergeser. Kalau sudah ditinggalkan maka kejayaan kampung-kampung warna akan menjadi sejarah.

Anton bisa dikatakan gagal memanfaatkan momentum kejayaan kampung warna di Kota Malang ini untuk melahirkan potensi kearifan lokal, baik berupa budaya, ekonomi kreatif maupun sosial masyarakat kampung. Ia bersama anak buahnya terlalu terkesima dan hanya berpikir menambah populasi kampung-kampung serupa di kotanya tanpa bisa berpikir lebih jauh kearifan lokal apa yang bisa dimunculkan dari dalam kampung ini? Malang sebenarnya masih banyak memiliki kearifan lokal tetapi rupanya sudah banyak dilupakan dan tidak ada yang terpikir untuk kembali memunculkannya. Padahal kalau jeli kearifan lokal bisa bernilai ekonomis bagi masyarakat dan menjadi identitas baru kampung-kampung warna ini.

Mereka tidak perlu cemas akan ditinggalkan pengunjung karena kampung yang beridentitas dengan potensi kearifan lokalnya akan menjadikannya berbeda dan abadi. Anak-anak muda yang menjadi pengunjung dominan kampung warna juga akan teredukasi dengan kearifan lokal dan dengan budaya swafoto mereka bisa menjadikan viral di media sosial sehingga Malang tidak saja dikenal dengan tembok rumah yang dicat saja tetapi juga ada identitas di balik cat temboknya. (lugas wicaksono)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun