Satu pagi menjelang siang lelaki pungguk itu mengaduk-ngaduk gulali di gerobak usangnya yang berhenti di satu sudut persimpangan jalan Desa Senggreng, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Selain sebuah panci berisi gulali, gerobak itu memajang wayang-wayang dan kipas berbahan kertas bekas.
Gerobak usang dan lelaki pungguk itu penampilannya sama persis dengan yang terlihat 20 tahun lalu ketika aku masih bocah tujuh tahun. Lengkap dengan wayang-wayang dan kipas kertas yang membuatku sempat terpikir apakah barang dagangannya yang kulihat sewaktu masih bocah dan sampai kini dewasa tidak kunjung laku?
Di tahun 1990-an gulali, wayang dan kipas kertas sudah cukup kuno dijual kepada bocah-bocah yang lebih meminati mainan plastik bertuliskan 'Made In Cina' atau balon-balon berbentuk tokoh kartun. Ketika itu gerobaknya yang sudah usang sepi pembeli dibandingkan gerobak-gerobak lain di samping kanan-kirinya saat ada keramaian hiburan rakyat. Apalagi kini sudah tahun 2017? Mungkin barang dagangannya akan laku ketika dijual tahun 1970-an.
Lelaki pungguk yang sudah semakin menua itu membuatku penasaran sampai berusaha mencari tahu rumahnya untuk tahu lebih dekat. Kepenasaranku muncul ketika sosok yang kulihat sewaktu masih bocah dan kutinggal merantau sekian tahu lalu kembali lagi ke desa masih ada. Setelah kucari informasi, dia bernama Ngadri (90 tahun) dan tinggal di Desa Sambigede, Kecamatan Sumberpucung.
Satu pagi dia sedang duduk santai di bawah pohon rindang halaman depan rumahnya sembari menghisap rokok kobot (rokok tembakau yang dilinting sendiri dengan kulit jagung) ketika kudatang ke rumahnya. Saat kusapa berkali-kali dia sama sekali tidak hirau. Rupanya dia ada gangguan pendengaran. Aku kemudian masuk ke rumah sederhananya dan ditemui anak ketiganya, Sulikati (45).
Perempuan ini setelah kita saling berbasa-basi menjelaskan kalau ayahnya itu memiliki empat anak. Dua anak perempuan sudah berkeluarga dan tinggal bersama suaminya di kota lain. Sementara di rumah itu Ngadri bersama istri, Painah (70) yang menderita katarak tinggal dan dirawat di rumah itu oleh Sulikati bersama suami, Sarbuat (46) dan anak bungsunya, Agus Kurniawan (36) yang juga katarak.Â
Dari sejarah yang dikumpulkan dari cerita-cerita tetangga serta pengalaman semasa kecilnya, Sulikati menuturkan kalau Ngadri yang berasal dari Desa/Kecamatan Sumberpucung sudah berjualan gulali sejak masih remaja. Konon ia yang masih lajang kala itu berjualan belum menggunakan gerobak melainkan bakul yang dipikul di pundaknya pakai tongkat sembari berjalan kaki.Â
Ia berjalan kaki menjajakan gulali dari satu desa ke desa lain di Kecamatan Sumberpucung. Sampai kemudian dia menemukan jodohnya, Painah perempuan asal Desa Sambigede lalu keduanya menikah dan menetap di desa itu. Konon kala itu gulali buatan Ngadri rasanya enak dan banyak digemari. Setiap hari gulali yang dijajakannya selalu laris sampai dia banyak rejeki dan berhasil membeli gerobak yang kini sudah usang. Mungkin kala itu gulali menjadi jajanan yang tren semacam eskrim kekinian dan gerobak Ngadri sudah modern di zamannya.
Dari berjualan gulali itu dia bisa menghidupi istri dan keempat anaknya sampai kini sudah dewasa dan berkeluarga. Namun kini zaman sudah berubah dan gulali sudah banyak dianggap sebagai jajanan kuno. Tidak banyak yang membeli gulali buatannya. Kalaupun ada hanyalah bocah-bocah desa yang masih bisa menikmati manisnya gulali. Satu tusuk gulali dijualnya Rp 1.000, begitupula wayang dan kipas kertasnya.
"Yang beli biasanya anak-anak kecil, kalau wayang sama kipas jarang ada yang beli. Biasanya kalau anak SD ada pelajaran keterampilan tangan mereka pesan," ungkap Sulikati.
Pendapatan Ngadri dari berjualan barang dagangan kunonya itu sebenarnya tidaklah seberapa. Sekali berjualan rata-rata dia membawa pulang Rp 10.000, sering pula tidak sampai segitu atau bahkan tidak laku sama sekali. Uang hasil berjualannya itu dia gunakan lagi membeli bahan-bahan untuk membuat gulali.Â
Keluarga sudah sempat melarangnya berjualan dan menyarankan untuk beristirahat di rumah. Upah Sarbuat dan kiriman uang dua anaknya setiap bulan sebenarnya sudah cukup. Apalagi Ngadri satu tahun lalu sempat sakit paru-paru dan baru sembuh lima bulan lalu. Namun lelaki pungguk yang sudah menua ini tidak hirau dan tetap memilih berjualan. Meskipun kini dia sudah tidak berjualan setiap hari.
Di usia senjanya ini sebenarnya dia temperamental. Ia ingin selalu berusaha mandiri dan akan marah kalau ada yang membantu, apalagi yang membantunya tidak becus. Segala aktivitas berusaha dia lakukan sendiri termasuk membuat gulali, wayang dan kipas kertas.
"Kalau dibantu bapak malah suka marah-marah banyak gak cocoknya, buat gulali dia sendiri makanya rasanya enak," katanya.
Usai memasak gulali, menjelang sore dia mulai berangkat keliling mendorong gerobak usangnya dari satu desa ke desa lain sampai petang. Apalagi kalau hari itu dia dapat kabar akan ada hiburan rakyat seperti orkes, kuda lumping atau pertunjukan wayang dia akan lebih bersemangat. Dia akan bersiap mendatangi pusat keramaian itu dan akan kembali ke rumah setelah pukul 19.00.
Pagi itu saat saya berbincang dengan dua anaknya, Ngadri di belakang rumahnya memotong-motong kayu untuk dibuatnya menjadi tusuk gulali. Ia melakukannya sembari berbincang dengan istrinya yang hanya bisa terdiam dari balik kamar karena katarak yang dideritanya. Seorang tetangga datang menghampirinya untuk mengabarkan kalau nanti sore ada kuda lumping di desa tetangga. Ia tersenyum dan bersiap memasak gulali di dapur rumahnya. Nanti sore dia akan mendorong gerobak usangnya yang berisi gulali, wayang dan kipas kertas menuju pusat keramaian. (lugas wicaksono)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H