Keluarga sudah sempat melarangnya berjualan dan menyarankan untuk beristirahat di rumah. Upah Sarbuat dan kiriman uang dua anaknya setiap bulan sebenarnya sudah cukup. Apalagi Ngadri satu tahun lalu sempat sakit paru-paru dan baru sembuh lima bulan lalu. Namun lelaki pungguk yang sudah menua ini tidak hirau dan tetap memilih berjualan. Meskipun kini dia sudah tidak berjualan setiap hari.
Di usia senjanya ini sebenarnya dia temperamental. Ia ingin selalu berusaha mandiri dan akan marah kalau ada yang membantu, apalagi yang membantunya tidak becus. Segala aktivitas berusaha dia lakukan sendiri termasuk membuat gulali, wayang dan kipas kertas.
"Kalau dibantu bapak malah suka marah-marah banyak gak cocoknya, buat gulali dia sendiri makanya rasanya enak," katanya.
Usai memasak gulali, menjelang sore dia mulai berangkat keliling mendorong gerobak usangnya dari satu desa ke desa lain sampai petang. Apalagi kalau hari itu dia dapat kabar akan ada hiburan rakyat seperti orkes, kuda lumping atau pertunjukan wayang dia akan lebih bersemangat. Dia akan bersiap mendatangi pusat keramaian itu dan akan kembali ke rumah setelah pukul 19.00.
Pagi itu saat saya berbincang dengan dua anaknya, Ngadri di belakang rumahnya memotong-motong kayu untuk dibuatnya menjadi tusuk gulali. Ia melakukannya sembari berbincang dengan istrinya yang hanya bisa terdiam dari balik kamar karena katarak yang dideritanya. Seorang tetangga datang menghampirinya untuk mengabarkan kalau nanti sore ada kuda lumping di desa tetangga. Ia tersenyum dan bersiap memasak gulali di dapur rumahnya. Nanti sore dia akan mendorong gerobak usangnya yang berisi gulali, wayang dan kipas kertas menuju pusat keramaian. (lugas wicaksono)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H