Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo menyadari apabila fenomena intoleransi dan Suku, Agama, Ras (SARA) kini telah menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Fenomena itu terlihat salah satunya dari dinamika masyarakat yang seringkali mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dipermasalahkan beberapa tahun lalu.
Di antaranya penolakan pembangunan patung sampai merobohkan serta membakarnya karena dianggap tidak sesuai dengan nilai yang ada di satu agama. Padahal sebagian patung yang ditolak itu dibuat komunitas agama lain yang berbeda dari agama penolak sebagai sarana sembahyang.
Ada pula penolakan terhadap pemimpin beda agama dengan agama mayoritas. Mereka yang menolak menilai tidak pantas pemimpin beda agama memimpin mereka karena dilarang agama. Penolakan terhadap budaya dan tradisi lokal seperti wayang, tarian tradisonal sampai tahlilan karena dianggap tidak sesesuai dengan nilai satu agama.
Yang lebih parah lagi kini nilai intoleransi sudah mulai masuk dunia pendidikan dari sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi (PT). Masuknya nilai intoleransi ke lembaga pendidikan ini salah satunya melalui dosen dan guru. Mereka sebagai pengajar berusaha menanamkan nilai intoleransi yang diyakininya kepada pelajar melalui pelajaran di sekolah maupun kampus.
Dogma selama ini yang menempatkan pengajar selalu benar membuat sebagian pelajar percaya begitu saja apa saja yang disampaikan pengajar. Termasuk soal nilai intoleransi. Biasanya itu banyak disampaikan oleh guru agama, dan ada pula guru atau dosen ilmu lain. Dengan telah masuknya nilai intoleransi ke setiap sekolah kini telah ada beberapa sekolah yang tidak melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin, padahal itu wajib.
Ada pula organisasi masyarakat (ormas) yang menggeruduk sekolah saat berlangsungnya upacara bendera dan mengintimidasi pelajar agar tidak hormat kepada bendera merah putih. Sekolah juga ada yang tunduk kepada pelajar yang memilih tidak hormat bendera saat upacara karena meyakini hormat bendera tidak sesuai dengan nilai agama.
Bahkan pelajar beragama mayoritas kini tidak segan mengintimidasi temannya yang beragama lain dengan mengatakan agama yang diyakininya tidak benar. Tidak sedikit orangtua yang mengeluh tentang anaknya yang bercerita sepulang sekolah bahwa gurunya saat di sekolah menyampaikan agama mayoritas paling benar dan teman yang tidak seagama dengan mereka layak dijauhi.
Presiden yang akrab disapa Jokowi ini beberapa waktu lalu sudah berinisiatif membubarkan salah satu ormas agama yang dinilai akan mengganti ideologi negara dengan ideologi agama. Namun sebenarnya pembubaran ormas saja tidak cukup, yang lebih dibutuhkan sekarang sebenarnya adalah pembangunan mental manusia. Organisasi dibubarkan tapi belum tentu ideologi ikut bubar. Meski telah dibubarkan mereka tetap ada dan berlipat ganda apabila tidak disertai pembangunan mental kebangsaan.
Jokowi menilai fenomena intoleransi ini terjadi karena ada kekosongan ruang selama 19 tahun lalu sejak reformasi. Berbeda saat masa orde baru yang menggalakkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila melalui berbagai penataran. "Sembilan tahun ruang itu tak ada yang mengisi, sehingga ada kelompok yang mengisi," kata Jokowi dilansir dari Tempo.co.
Jokowi sebenarnya sudah menyadari fenomena intoleransi sejak dia akan menjabat Presiden RI. Karena itu dia membuat program Nawacita berisi sembilan program. Mengenai perlawanan terhadap intoleransi ada di program nomor delapan dan sembilan.
Di antaranya nomor delapan yang menyatakan akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Dan nomor sembilan, memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga.
Sementara salah satu upaya melaksanakan program Nawacita adalah dengan gerakan revolusi mental. Gerakan ini menjadi tanggungjawab Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani. Ia pernah menyatakan revolusi mental dibutuhkan sebagai strategi pembangunan budaya dan pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter.
Menurut Puan, revolusi mental dahulu digagas kakeknya, Presiden RI Soekarno tahun 1957. Gerakan ini kini kembali dihidupkan karena dinilai masih relevan dengan situasi dan kondisi kebangsaan Indonesia saat ini. Ia menambahkan revolusi mental dibutuhkan karena pudarnya semangat, gaya berpikir yang meniru penjajah dan penyelewengan di lapangan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Ada tiga nilai revolusi mental yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong. Tiga nilai itu akan menjadi budaya baru keseharian masyarakat.
"Kita dapat mulai gerakan ini (Gerakan Nasional Revolusi Mental) dengan mengubah cara pikir, cara kerja, dan cara hidup. Lalu dilanjutkan dengan membangun karakter yang penuh integritas, etos kerja, dan gotong royong," ujar Puan dilansir dari Kompas.com
"Kemenko PMK, sebagai kementerian yang saya pimpin, sejauh ini sudah memulainya dengan gencar mengkampanyekan gerakan Indonesia Melayani, Indonesia Bersih, Indonesia Tertib, Indonesia Mandiri, dan Indonesia Bersatu," tambahnya.
Keseriusannya dengan gerakan revolusi mental dia buktikan dengan membuat website www.revolusimental.go.id.yang menghabiskan biaya hingga Rp 149 miliar. "Melalui website masyarakat bisa melihat program ini akan disosialisasikan dengan baik. Mulai dari masalah perangkat hukum, model-model keteladanan, hingga pendapat dari tokoh nasional. Tujuannya untuk merevolusi mental karakter bangsa Indonesia. Melalui website ini kami juga akan memonitor pelaksanaan gerakan revolusi mental di semua kementerian dan lembaga negara," kata Puan dilansir dari Antara.com
Namun diawal kemunculannya, website ini sempat tidak bisa diakses. Sejumlah pihak, terutama penggiat teknologi menilai bahwa pembuatan website ini adalah salah satu bentuk pemborosan. Mereka mempertanyakan besarnya dana yang dikeluarkan untuk membuat website pendukung program Gerakan Nasional Revolusi Mental tersebut.
Website itu saat dibuka memang tidak begitu jelas maksud dan tujuannya. Hanya berisi beberapa konten saja tentang maksud revolusi mental yang salah satunya menjelaskan kegiatan FGD (kelompok diskusi terfokus) di Jakarta, Aceh, dan Papua yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Revolusi Mental Rumah Transisi.
Dari FGD yang melibatkan 300 orang budayawan, seniman, perempuan, netizen, kaum muda, pengusaha, birokrat, tokoh agama/adat, akademisi dan LSM disimpulkan tiga gejala, di antaranya krisis nilai dan karakter, krisis pemerintahan dalam hal ini pemerintah ada tapi tidak hadir, masyarakat menjadi obyek pembangunan, dan ketiga krisis relasi sosial yakni gejala intoleransi.
Namun semangat gerakan revolusi mental tidak terlihat dibarengi tindakan nyata untuk mengejewantahkan yang dimaksud revolusi mental itu sendiri dalam praktik nyata. Kini seakan gerakan itu hanya sebatas wacana belaka. Puan sebagai Menko tentu saja dapat bekerjasama dengan menteri terkait untuk mempraktikkan gerakannya, seperti menteri yang paling strategis di antaranya Menteri Pendidikan Muhajir Effendi, Menteri Ristek dan Dikti Muhammad Natsir dan Menteri Sosial Kofifah Indar Parawansa.
Para menteri tersebut justru terkesan berjalan sendiri-sendiri. Natsir menyikapi pembubaran ormas agama beberapa waktu lalu dengan berencana akan memecat dosen perguruan tinggi negeri (PTN) yang terindikasi terlibat dalam ormas terlarang tersebut. Namun itu hanyalah sebatas wacana yang tidak jelas kapan terealisasi. Sementara Muhajir justru sibuk dengan wacana full day school yang menuai polemik. Mereka mungkin belum sempat terpikir mempraktikkan program Nawacita nomor delapan.
Entah itu sudah dilakukan Puan atau saya kurang update, yang jelas kini belum terlihat keberadaan gerakan revolusi mental. Padahal gerakan ini telah menghabiskan dana sampai ratusan miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari setoran pajak masyarakat. Jangankan menilai berhasil tidaknya, keberadaan gerakan revolusi mental kini juga tidak jelas. Bahkan sebagai awam kita belum melihat hasil kerja Puan.
Sementara belum tuntas mengenai gerakan revolusi mental, Jokowi menyiapkan unit khusus untuk memadamkan intoleransi ataupun kelompok anti pancasila yang berkembang di masyarakat. Dilansir dari Tempo.co, Jokowi Juni 2017 kemarin menandatangani pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pemantapan Ideologi Pancasila. Menurut dia, tugas tim itu adalah memberikan pemantapan dan pemahaman pancasila dengan cara kekinian, antara lain lewat komik, video-blog, dan media sosial seperti Instagram. Apapun itu saya rindu Puan Maharani putri Presiden Megawati Soekarnoputri yang di awal pemerintah Presiden Jokowi memiliki semangat menggebu dengan gerakan revolusi mentalnya. Saya hanya ingin menyapa, Hai Ibu Puan, apa kabar revolusi mental? (lugas wicaksono)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H