Dikatakan, Hariyanto, meskipun berbeda prinsip, antara pelaku graffiti dan mural sebenarnya memiliki visi yang sama, yakni sama-sama ingin melawan dominasi iklan. Seringkali iklan suatu produk yang diproduksi perusahaan mendominasi ruang publik melalui billboard raksasa, baliho, poster, pamflet dan lainnya.
Bagi mereka iklan-iklan yang memenuhi ruang publik tidak lebih dari wajah kapitalis yang dengan kekuatan modal besar mampu memasang iklan dimanapun mereka mau. Di samping itu, dengan modal besar pula mereka punya akses kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan untuk mendapatkan izin pemasangan iklan.
Sementara pelaku graffiti dan mural ini semakin gelisah karena ruang mereka untuk berekspresi semakin sempit terdesak iklan. Mereka terutama bomber graffiti yang lebih radikal akhirnya secara sembunyi-sembunyi mengekspresikan aksinya. Biasanya mereka beraksi saat tengah malam ketika sepi.
Apabila merasa terganggu dengan aksi ini, Hariyanto menyarankan kepada pemerintah untuk memberika tempat berekspresi bagi para bomber ini. Mereka apabila didekati secara manusiawi cukup mudah untuk diajak bekerjasama. Sebaliknya apabila diperlukakan secara represif maka akan semakin melawan. Bagi dia, para bomber ini sebenarnya bisa menjadikan kota lebih menarik dengan kreasinya apabila diberikan kesempatan. (lugas wicaksono)