Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perebutan Ruang Publik Antara Graffiti, Mural, dan Iklan

3 Agustus 2017   16:20 Diperbarui: 3 Agustus 2017   16:27 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Majalah Cobra

Di ruang publik perkotaan, terutama kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan lainnya kita sering melihat fasilitas umum yang penuh coretan tanpa makna. Mulai dari rolling door pertokoan, tembok, pagar, jembatan penyeberangan, papan reklame sampai pohon perindang di pinggir jalan tak luput menjadi obyek pencoretan. Coretan itu biasanya dibuat menggunakan cat semprot beraneka warna. Entah siapa pelaku pencoratan banyak yang tidak tahu.

Kita sebagai awam seringkali merasa terganggu dengan pemandangan coretan itu. Bagi banyak orang coretan itu dianggap memperkumuh tata ruang kota. Kita sering menyebut pencoretan itu sebagai bagian dari aksi vandalisme. Istilah vandalisme merupakan istilah asing yang ketika di-Indonesiakan kurang lebih berarti aksi perusakan, karena corat-coret dianggap sebagai perbuatan merusak.

Di sisi lain, kita juga sering melihat lukisan yang dilukis di fasilitas umum. Biasanya berupa bermacam-macam gambar yang bisa dimaknai dan lebih sedap dipandang. Biasanya gambar itu penuh pesan, tidak jarang juga berisi kritikan. Biasanya banyak yang menyebut gambar itu mural.

Ketua Jurusan Seni Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), Dr. Hariyanto, M.Hum mengatakan, coretan tanpa makna yang biasa kita temui di ruang publik itu disebut graffiti. Menurut dia, graffiti adalah aktivitas sekelompok bomber (pelaku graffiti) yang mencoret-coret tembok dan fasilitas umum untuk menunjukkan eksistensinya. Biasanya para bomber ini menuliskan nama kelompoknya dengan cara corat-coret menggunakan cats semprot.

"Geng-geng anak muda yang menamakan diri bomber untuk kelompok graffiti biasanya ingin menunjukkan identitasnya dengan taging menulis nama kelompoknya. Itu biasanya dilakukan sembunyi saat malam," katanya.

Perkembangan zaman kemudian merubah trend dari graffiti yang sekadar corat-coret identitas kelompok menjadi lebih ekspresif. Meskipun tetap coretannya menunjukkan identitas, tetapi pola coretannya lebih kreatif. Belakangan dikenal graffiti pop art.

"Dari sebelumnya taging yang hanya corat-coret tidak ada makna hanya menunjukkan identitas kemudian ditulis secara kreatif," ungkapnya.

Sementara mural merupakan karya yang biasa diekspresikan di fasilitas umum, seperti jembatan, tembok gedung atau pembatas jalan. Biasanya berupa gambar yang ekspresif. Berbeda dengan cara kelompok graffiti yang tersembunyi, kelompok mural ini beraksi secara terbuka. Mereka seringkali berizin ke pemerintah setempat atau pemilik gedung.

"Kalau komunitas mural itu biasanya lebih teratur dan terbuka, mau bekerjasama dengan pemerintah untuk mempercantik kota. Kalau graffiti mereka tidak peduli estetika yang penting corat-coret identitasnya dimanapun," ungkapnya.

Dengan aksi yang tersembunyi dan tidak mengindahkan estetika, kelompok graffiti seringkali aksinya disebut vandalisme atau perbuatan perusakan. Bahkan di sejumlah tempat gambar mural ditindih tulisan graffiti.

"Graffiti persepsinya liar dan negatif karena menulis di tempat umum tanpa sering disebut vandal karena dianggap merusak. Kalau mural persepsinya orang positif," jelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun