Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Malu Punya Mahasiswa Gay?

26 Juli 2017   16:08 Diperbarui: 28 Juli 2017   09:06 3502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Prasetya Online - Universitas Brawijaya (Ilustrasi)

Gay baru dilarang kalau mereka masih di bawah umur, atau gay sudah cukup umur berhubungan dengan anak di bawah umur. Mereka juga dilarang mencabuli atau memperkosa di bawah umur atau sudah cukup umur sekalipun. Misalnya anggota komunitas gay ini ramai-ramai menyeret seorang mahasiswa pria yang sedang belajar di kelas lalu mensodominya dibalik semak-semak belakang taman kampus. Itu sudah perbuatan kriminil. Kalau mereka saling mengasihi, itu belum ada aturannya. Mereka juga bisa dianggap kriminil kalau berkegiatannya mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) seperti pesta seks yang digerebek di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena mereka terlalu berisik, warga terganggu dan melapor ke polisi.

Selama ini LGBT dianggap tabu karena tidak sesuai dengan norma-norma sosial di masyarakat. Asing saja melihat pria yang biasanya mencintai wanita kok malah mencintai sesama pria. Sebagai masyarakat awam kita jijik saja melihatnya. Padahal banyak faktor yang menyebabkan menjadi gay. Salah-satunya faktor yang tidak berasal dari diri sendiri. Sebagian dari mereka sudah terlahir dengan berjiwa gay. Menolak kodrat sekeras apapun untuk menjadi tidak gay akan sangat susah.

Banyak di antara gay yang akhirnya memutuskan untuk tetap menjadi gay. Mereka tidak kuasa melawan kodrat yang dianggap menyimpang dan lebih nyaman tetap bertahan dengan kodrat itu. Manusia gay itu atau lesbian tercipta dua jenis, maskulin dan feminim. Mereka yang maskulin akan menyukai yang feminim meskipun sesama pria. Pria gay maskulin sekilas tidak akan tampak kalau dirinya seorang gay karena dia bergaya maskulin selayaknya pria umumnya. Namun bagi mereka yang feminim akan terlihat mencolok karena sebagai pria gaya mereka selayaknya wanita. Kita yang awam suka menyebutnya waria, banci sampai sekasarnya bencong.

Banyaknya kesamaan lalu menginisiasi mereka untuk membuat komunitas. Secara sosiologis ini cukup wajar karena terbentuknya komunitas itu pada dasarnya karena terdapat kesamaan yang membuat anggotanya saling berhubungan. Sama saja dengan komunitas geng motor yang anggotanya disatukan karena sama-sama suka sepeda motor.

Belakangan komunitas-komunitas LGBT berupaya membuat kegiatan yang positif agar lebih bermanfaat dan lebih diterima masyarakat. Misalnya komunitas Waria dan Gay Singaraja (Warga's) di Buleleng, Bali. Latar belakang anggota mereka yang kelam dan beberapa terjangkit HIV/AIDs karena seks bebas membuat mereka gemar penyuluhan bahaya penyakit tersebut. Kini mereka mengklaim tidak ada anggotanya yang berpenyakit demikian. 

Setiap 17 Agustus mereka juga rutin berpartisipasi dalam lomba gerak jalan wanita dengan kostum yang unik-unik. Tentu saja mereka cukup menghibur dan masyarakat menerimanya dengan baik. Pernah suatu ketika Warga's dilarang panitia ikut gerak jalan wanita, tahun berikutnya mereka diperbolehkan tampil karena banyak masyarakat yang protes. Bagi masyarakat tidak ada Warga's tidak rame.

"Saya bersyukur di Bali ini masyarakat menerima kami dan memberikan kami ruang untuk berekspresi. Saya tidak membayangkan teman-teman kami di Jawa atau paling parah di Aceh itu sangat dibatasi," kata Ketua Warga's, Sisca Sena suatu ketika kepada saya sesaat sebelum menggelar Miss Waria Buleleng 2016 lalu.

Persatuan Komunitas Gay Universitas Brawijaya yang beranggotakan 286 orang di grup facebooknya ini sebenarnya sudah cukup sadar diri. Oleh karena banyak masyarakat yang tidak menyukainya karena tidak sesuai dengan normal sosial, mereka mensetting grup facebook itu sebagai grup tertutup yang artinya tidak dapat diakses secara umum dan hanya anggota grup saja yang bisa mengaksesnya dan beraktivitas di dalamnya. Di dalamnya diterangkan tujuan dibuatnya grup ini untuk saling berbagi pengetahuan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan seks. Selain itu, aturan ketat juga diberlakukan kepada para anggota yang tergabung di dalamnnya. Salah satunya anggota dilarang memposting sesuatu yang mengandung unsur pornografi.

UB dalam beberapa kesempatan menyebut keberatan mereka karena nama UB dicatut sebagai nama komunitas tersebut. Namun sebenarnya tidak demikian kalau anggota komunitas gay adalah pria gay mahasiswa UB. Mahasiswa sekalipun gay adalah bagian dari civitas akademika UB. Mereka punya Kartu Mahasiswa dan bayar setiap semester. Yang perlu diluruskan adalah nama UB bukan monopoli rektorat. Siapapun berhak memakai nama UB selama masih menjadi warga kampus ini, sekalipun mahasiswa abadi yang masih belum lulus sampai 14 semester.

Persatuan Komunitas Gay ini sebenarnya sama saja dengan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) semacam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sampai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sekalipun. Mereka di luar dari struktur organisasi kampus. 

Namun anggota organisasi ini mahasiswa warga kampus. Seringkali untuk mempermudah penyebutannya sesuai domisili kampus di setiap pertemuan atau struktur organisasi mereka. Karena itu ada nama HMI UB, PMII UB, GMNI UB, HTI UB. Sama juga ibu-ibu dosen dari berbagai kampus di Malang Raya punya kegiatan arisan, lalu mereka untuk mempermudah kordinasi membuat komunitas dengan pengelompokan setiap kampus tempatnya mengajar seperti Dosen Pecinta Arisan UB, UM atau UMM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun