Beberapa hari yang lalu, saya tanpa sengaja membuka kolom komentar di akun media sosial Dewan Pers. Biasanya, kolom komentarnya sepi. Kalaupun ada yang komentar, pasti hanya akun itu-itu saja.
Entah mengapa, tiba-tiba kolom komentar yang sepi itu mendadak ramai. Saya pun penasaran. Akhirnya saya putuskan untuk membuka dan membaca beberapa isinya.
Tak hanya di satu postingan saja. Keramaian itu tersebar di beberapa postingan. Setelah membaca beberapa komentar, akhirnya saya baru paham duduk persoalannya.
Dewan Pers, lembaga independen yang menangani urusan pengembangan dan perlindungan pers di Indonesia, memang sedang disorot. Sebab, lembaga ini baru saja mengusulkan Peraturan Presiden (Perpres) yang katanya membuat ketar-ketir beberapa pihak.
Latar Belakang Penyusunan Perpres
Pembuatan Perpres ini tentunya ada sebab musababnya. Tidak mungkin ujug-ujug muncul tanpa pemicu. Inilah yang pertama kali saya cari-cari. Setelah membaca beberapa sumber, akhirnya jawabannya ketemu.
Peraturan ini dibuat atas dasar permintaan tanggung jawab kepada platform digital global. Sebut saja beberapa seperti Google, Facebook, dan aplikasi agregator berita lainnya.
Permintaan tanggung jawab ini sendiri dilatarbelakangi oleh platform digital yang mendapat keuntungan lebih banyak dibandingkan perusahaan media. Bahkan, ada perusahaan aplikasi agregator (pengumpul) berita yang dapat keuntungan dari berita-berita yang dikumpulkannya tanpa adanya bagi hasil.
Harapannya, dengan adanya Perpres ini, perusahaan platform digital bisa mendukung jurnalisme berkualitas. Salah satunya dengan pemberian royalti atas berita-berita yang ditampilkan. Peraturan serupa diketahui sudah berlaku di Kanada dan Australia.
Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas
Rancangan perpres itu sudah diserahkan ke Sekretariat Kabinet dengan membahas tiga isu utama. Pertama, soal lebih berkaitan dengan kerja sama bisnis yang B2B (business to business). Kedua, soal data. Ketiga, algoritma platform digital.
Hanya saja, rancangan terbaru yang sudah tinggal menunggu ditandatangani untuk disahkan itu tidak tersedia untuk publik. Yang ada, hanya rancangan tertanggal 17 Februari 2023 yang disetujui oleh Ketua dan Anggota Dewan Pers serta asosiasi jurnalis dan perusahaan media.
Pemerintah mencoba membangun keberlanjutan industri media di tengah disrupsi digital. Sehingga kerja sama bisnis menjadi hal yang paling penting antara industri media dan platform digital.
Perpres bakal mengatur terkait konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan pers. Kemudian, platform juga bisa melakukan semacam filtering mana konten yang sifatnya news, mana yang bukan, dan yang news inilah yang dikomersialisasi.
Soal algoritma, aturan ini digunakan untuk mencegah tersebarnya konten yang potensial mengandung hoaks, misinformasi, disinformasi atau yang tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta kode etik jurnalistik.
Untuk mengawal Perpres ini, adapula wacana pembentukan Komite Independen. Isinya diusulkan ada 11 orang, lima orang dari Dewan Pers, lima orang dari pakar yang tidak terafiliasi oleh industri media dan tidak terafiliasi oleh platform media sosial, dan satu unsur dari kementerian.
Komite akan bekerja dan dipilih untuk tiga tahun sekali. Tugas komite itu adalah mengawasi konten. Jika ada yang menurut komite ini harus ditertibkan, mereka akan melaporkan ke Menteri Kominfo dan oleh Menteri akan dipakai perangkat-perangkat yang selama ini dimiliki baik perangkat hukum, regulasi, termasuk juga wewenangnya ada di Kominfo untuk misalnya memfilter ataupun mencegah konten-konten itu bisa menyebar.
Tak Sejalan dengan Misi Google
Draf Perpres Jurnalisme Berkualitas ini pun akhirnya menjadi perhatian Google. Raksasa teknologi ini, lewat blog yang ditulis VP Government Affairs and Public Policy, Google menyebut Perpres itu tidak sejalan dengan misinya.
Google mengatakan, peraturan ini dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi masyarakat. Sebab, negara memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten yang boleh muncul secara daring dan memilih penerbit berita yang boleh meraih penghasilan dari iklan.
Misi Google adalah membuat informasi mudah diakses dan bermanfaat bagi semua orang. Jika disahkan, dalam versi sekarang, peraturan ini dapat secara langsung mempengaruhi kemampuan Google untuk menyediakan sumber informasi daring yang relevan, kredibel, dan beragam bagi penggunanya di Indonesia.
Google merinci, setidaknya ada dua dampak yang bakal terjadi jika aturan dalam Perpres itu disahkan. Pertama, Perpres itu akan membatasi berita yang tersedia secara daring. Kedua, aturan itu mengancam eksistensi media dan kreator berita.
Peraturan ini hanya menguntungkan sejumlah kecil penerbit berita dan membatasi kemampuan Google untuk menampilkan beragam informasi dari ribuan penerbit berita lainnya di seluruh nusantara. Termasuk merugikan ratusan penerbit berita kecil di bawah naungan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Masyarakat Indonesia yang ingin tahu berbagai sudut pandang pun akan dirugikan, karena mereka akan menemukan informasi yang mungkin kurang netral dan kurang relevan di internet.
Media dan kreator berita adalah sumber informasi utama bagi masyarakat Indonesia. Tujuan awal peraturan ini adalah membangun industri berita yang sehat, tetapi versinya yang terakhir diusulkan malah mungkin berdampak buruk bagi banyak penerbit dan kreator berita yang sedang bertransformasi dan berinovasi. Kekuasaan baru yang diberikan kepada sebuah lembaga non-pemerintah, yang dibentuk oleh dan terdiri dari perwakilan Dewan Pers, hanya akan menguntungkan sejumlah penerbit berita tertentu dengan membatasi konten yang dapat ditampilkan di platform Google.
Aturan Sedikit Berbeda dengan Australia dan Kanada
Perbedaan aturan yang bakal diterapkan di Indonesia memiliki perbedaan dengan Australia dan Kanada. Kedua negara itu sudah meneken aturan sejenis. Perbedaan yang paling jelas terlihat adalah soal algoritma.
Kedua negara tersebut, tidak ikut campur dalam urusan algoritma. Hanya saja, dalam aturan yang telah dibuat, harus ada kesepakatan "bagi hasil" antara perusahaan media dengan perusahaan platform digital.
Di samping itu, adapula pendapat lain yang menyebut, aturan itu juga akan meminta pihak platform untuk memfilter konten sesuai kode etik jurnalistik. Padahal, seharusnya urusan itu ada di tangan Dewan Pers.
Perlu Perbaikan Sebelum Disahkan
Beberapa perwakilan asosiasi jurnalis dan perusahaan media menyarankan ada beberapa poin dalam aturan tersebut yang masih perlu dibenahi. Jangan sampai ada celah yang akhirnya malah menimbulkan kerugian.
Meskipun belum melihat utuh isi draf Perpres itu, sebagai awak media, saya pun berharap demikian. Sejajarkan aturan dengan tujuan awalnya. Dan pastikan, jangan sampai para kreator yang membuat konten di luar produk jurnalistik ikut terimbas.
Saya sendiri juga ketar-ketir. Kalau sampai kreator juga terimbas, konten saya, sebagai Kompasianer, bisa jadi kena cekal dan terancam tidak terindeks karena tidak sesuai kode etik jurnalistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H