Ziarah makam sudah jadi tradisi jelang Ramadan. Termasuk di Kabupaten Banyuwangi. Hingga H-1 Ramadan, peziarah berdatangan menyambangi makam kerabatnya.
Peziarah biasanya akan membawa bunga tabur. Ada juga yang menyebutnya kembang kirim. Selain itu, ada juga lantunan doa yang dibawa. Sambil berharap, Tuhan menerima amal dan perbuatan yang sudah pergi mendahului.
Saat berziarah, peziarah akan menaburkan bunga di atas makam. Setelah itu, barulah doa-doa dilantunkan. Ini bisa dilakukan saat makam kerabat masih utuh. Tapi bagaimana kalau tertindih atau tergantikan makam baru?
Saya baru menemui hal semacam ini di TPU Dusun Trembelang, Desa/Kecamatan Cluring. Tepatnya saat meliput suasana ziarah saat H-1 Ramadan yang jatuh pada Rabu (22/3/2023). Beberapa peziarah mengaku, makam kerabatnya sudah tidak ada di sana.
Ada yang bikin saya kagum. Meski makamnya sudah tidak ada, peziarah itu masih melakukan hal yang sama dengan peziarah lain. Peziarah biasanya meletakkan bunga tabur di atas makam. Namun, untuk yang makam kerabatnya sudah tidak ada, mereka melakukannya di tepi tembok TPU.
Selain menaburkan bunga, peziarah itu juga melantunkan doa seperti peziarah lain. Bedanya, mereka melakukannya di tepi tembok TPU. Kondisi seperti ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun.
Ada satu peziarah yang saya temui. Namanya mirip dengan orang Belanda. Mungkin memang turunan sana. Tapi tidak tahu sudah generasi yang ke berapa.
Dia mengaku, ada empat makam kerabatnya yang hilang di TPU itu. Bukan hilang dicuri. Tapi sudah tergantikan makan yang baru. Sehingga, dia tidak bisa menabur bunga dan melantunkan doa seperti peziarah lain.
Meskipun begitu, itu tidak mengurangi keinginannya untuk menyambangi makam kerabatnya. Doa tetap dilantunkannya di tembok TPU. Termasuk bunga tabur yang dibawanya, diletakkan di dekat tembok batako itu.
Kondisi itu rupanya tidak hanya dialami peziarah yang saya temui. Mungkin, ada belasan peziarah lain yang mengalami nasib serupa. Ini terlihat dari banyaknya bunga tabur yang berjejer di tembok TPU.