Sejak hari Senin (22/8/2022) pagi kemarin, linimasa media sosial Twitter saya kembali memanas. Kali ini terjadi perdebatan antara pelanggan kereta api dengan salah satu pegawai Kereta Api Indonesia (KAI) yang diketahui bekerja di unit layanan pelanggan (CS).
Awal mula dari memanasnya pembahasan ini adalah seorang pelanggan yang menyampaikan keluhannya melalui media sosial tersebut.Â
Inti dari keluhannya adalah mempertanyakan soal alasan KAI masih menggunakan tempat duduk berhadapan dan tegak di kereta kelas ekonomi yang berkapasitas 106 penumpang.
Berdasarkan penelusuran lanjutan, pelanggan tersebut menggunakan Kereta Api Probowangi dari Stasiun Surabaya Gubeng hingga Ketapang.Â
Jadi, seperti yang kita ketahui bersama, kereta api tersebut memang masih menggunakan kereta kelas ekonomi berkapasitas 106 penumpang dan berstatus subsidi public service obligation (PSO).
Dari keluhan tersebut ada warganet yang pro dan kontra. Hal ini sudah biasa terjadi. Namun, uniknya ada pegawai KAI yang juga ikut menyuarakan pendapatnya melalui akun pribadinya.
Melalui fitur utas (thread), pegawai tersebut melakukan quote retweet (QRT) keluhan yang disampaikan pelanggan tadi. Dirinya mengawali dengan kalimat yang menurut saya kurang pantas disampaikan oleh pegawai KAI, walaupun lewat akun pribadi.
Pagi ini, pembuka utas tersebut terpantau sudah dihapus oleh yang bersangkutan. Namun, coba saya tuliskan kembali kalimat tersebut.
"Aku mau balas utas ini, bukan sebagai orang yang kerja di KAI, tetapi sebagai orang yang punya experience (pengalaman) naik kereta sebelum layanannya jadi seperti sekarang, di mana anak-anak gen Z dan alpha nggak memiliki experience itu sekaligus buat mengingatkan kita biar ga kufur nikmat."
Dari awalan tersebut, pegawai yang bersangkutan melanjutkan utasnya dengan pembahasan mengenai pengalaman menggunakan kereta api di era dahulu, saat layanan masih bisa dibilang belum tertata.Â
Dirinya melanjutkan dengan menuliskan soal kereta kelas ekonomi yang sudah manusiawi untuk digunakan masyarakat.
Menjelang akhir, pegawai ini menjelaskan soal layanan kereta api yang dikeluhkan oleh pelanggan tersebut, yaitu Probowangi. Kereta api tersebut merupakan kereta kelas ekonomi bersubsidi.Â
Tidak lupa juga mengajak pembaca untuk mensyukuri hal tersebut, karena sudah diberikan subsidi oleh pemerintah, diberikan standar pelayanan minimum (SPM) sesuai ketentuan, dan tidak ada syarat khusus bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan subsidi tersebut.
Penjelasan soal perbedaan kereta api bersubsidi sudah pernah saya tuliskan di Kompasiana. Termasuk juga soal kritikan saya mengenaik kereta api komersial yang masih menggunakan kereta kelas ekonomi berkapasitas 106 penumpang.
Insan KAI Harus Paham Keluhan Awam
Sekilas tidak ada yang salah dalam pembuatan utas oleh pegawai KAI tersebut. Secara garis besar, utas tersebut mencoba menjelaskan mengenai aspek terpenting dalam operasional kereta api yaitu keselamatan.
Kemudian soal subsidi harga tiket, dan mengingatkan untuk mensyukuri kereta kelas ekonomi yang saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu.
Dari sisi pelanggan yang mengeluhkan tempat duduk, rasanya juga tidak salah karena yang bersangkutan juga tidak tahu menahu soal tarif kereta api yang disubsidi pemerintah.Â
Hal itu terlihat dari cuitannya yang hanya mengeluhkan tempat duduk seperti itu kurang nyaman digunakan untuk perjalanan lebih dari 5 jam.
Memang, berdasarkan pengalaman pribadi saya, naik kereta api dengan konfigurasi tempat duduk tersebut dalam waktu lama sangat tidak nyaman. Namun, biasanya saya memilih untuk membiarkan hal itu apabila memang kereta tersebut disubsidi pemerintah.
Menanggapi keluhan semacam itu, ada baiknya insan atau pegawai KAI ini menahan diri untuk mengeluarkan pendapatnya dan mengambil opsi observasi atau mengamati dulu ke arah mana keluhan tersebut berlanjut. Dari hasil pengamatan tersebut nantinya bisa digunakan sebagai bahan evaluasi jika diperlukan.
Membalas tweet keluhan tersebut dan ditambahi embel-embel bersyukur dan kufur nikmat justru akan memanaskan keadaan. Malah, menurut saya hal itu terkesan mengintimidasi pelanggan kereta api yang sedang menyampaikan keluhan.
Bahasa komunikasi tersebut akan membuat pelanggan lain berpikir 2 kali untuk menyampaikan keluhannya.Â
"Jangan-jangan, saya juga akan mendapat perlakukan serupa jika menyampaikan keluhan," yang mana hal ini urusannya bakal panjang karena pelanggan akhirnya malas menyampaikan keluhan.Â
Padahal, keluhan, kritik, dan saran adalah variabel penting dalam meningkatkan layanan kereta api di kemudian hari.
Jika di kemudian hari menemukan keluhan serupa, pegawai KAI sebaiknya tetap menahan diri dan menggunakannya sebagai evaluasi layanan. Jangan sampai membalas menggunakan akun pribadi dengan bahasa yang terkesan mengintimidasi.
Cukup sampaikan ucapan terima kasih atas masukannya. Kemudian, jika ada hal yang dirasa perlu diluruskan, cukup luruskan hal itu. Dalam kasus kemarin misalnya, pelanggan tidak tahu menahu soal tarif tiket yang disubsidi pemerintah.Â
Dari situ, cukuplah memberikan edukasi soal tarif tersebut dan hubungannya dengan layanan yang diberikan. Tentunya dengan bahasa yang enak dibaca oleh warganet.
Pegawai KAI harus memahami bahwa meskipun sosialisasi lewat media sosialnya sudah masif, selalu ada segmen masyarakat yang tidak tersentuh media ini.Â
Masih ada masyarakat yang belum paham soal ini, dan itu harus dipahami. Setelah memahami hal ini, gunakan bahasa komunikasi yang santun untuk mengedukasi pelanggan. Beri kesan yang baik bagi pelanggan yang menyampaikan keluhan.
KAI Perlu Evaluasi GAPEKA 2021
Melihat hal yang terjadi kemarin, saya mencoba untuk melihat dari sudut pandang lain. Keluhan pelanggan tersebut menurut saya, juga ada hubungannya dengan penerapan Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) 2021.
Gapeka 2021 mengubah jam keberangkatan Kereta Api Mutiara Timur dan memperpanjang rutenya hingga Yogyakarta.Â
Awalnya, kereta api ini memiliki 4 jadwal perjalanan per harinya baik dari Stasiun Ketapang dan Stasiun Surabaya Gubeng. Gapeka 2021 mengubah jadwal perjalanan menjadi 2 per hari baik dari Stasiun Yogyakarta dan Stasiun Ketapang.
Kondisi tersebut diperparah juga dengan perubahan jam keberangkatannya, di mana kereta api tersebut diberangkatkan dari Stasiun Ketapang pada pukul 17.30 WIB dan dari Stasiun Yogyakarta pukul 20.05 WIB. Masing-masing tiba di Surabaya pada tengah malam.
Operasional Kereta Api Mutiara Timur juga sudah tidak reguler. Hanya beroperasi pada tanggal tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan jadwal dan relasi kereta api ini tidak terlalu baik, yang dibuktikan dengan rendahnya okupansi penumpang.Â
Logikanya, jika okupansi penumpang baik, tentunya kereta api ini akan beroperasi reguler dan ada kemungkinan dijalankan versi fakultatifnya (tambahan).
Tidak mengejutkan jika pada akhirnya Mutiara Timur kehilangan pangsa pasarnya. Mengingat lintas Banyuwangi-Yogyakarta sudah ter-cover dengan layanan Kereta Api Sritanjung dan Wijayakusuma.Â
Kedua kereta api tersebut memiliki waktu keberangkatan yang sudah bisa dikatakan enak. Bahkan, Wijayakusuma sudah sukses mengalahkan Mutiara Timur dan mengambil alih pangsa pasarnya.
Hilangnya jadwal Kereta Api Mutiara Timur di waktu pagi antara pukul 8-9 dan malam antara pukul 22-23 baik dari Surabaya Gubeng maupun Ketapang ini menyebabkan perubahan perilaku pelanggan kereta api.Â
Mutiara Timur terkenal dengan jadwalnya yang cocok dengan kereta api lainnya dari arah barat Surabaya. Umumnya, kereta api ini menjadi pilihan bagi masyarakat yang akan melanjutkan perjalanannya ke Banyuwangi.
Saya sendiri merasakan manfaat dari jadwal perjalanan Mutiara Timur ini. Pada tahun 2012, jadwal kereta api ini sangat cocok bagi saya yang akan melakukan perjalanan dengan Kereta Api Bima dan juga cocok dengan jadwal kedatangan Kereta Api Argo Wilis. Waktu tunggu di Stasiun Surabaya Gubeng cukup ideal.
Demikian juga waktu saya kehabisan tiket untuk kembali ke kampung halaman di Banyuwangi dari Kota Malang.Â
Saya bisa memanfaatkan Kereta Api Penataran dari Malang menuju Surabaya untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan Kereta Api Mutiara Timur dari Surabaya menuju Banyuwangi. Begitu juga sebaliknya ketika akan kembali ke Kota Malang.
Dengan tidak adanya slot waktu keberangkatan yang tepat, pada akhirnya mau tidak mau pelanggan kereta api tidak punya pilihan lain untuk menuju ke Banyuwangi apabila melakukan transit di Gubeng. Satu-satunya kereta api yang tersedia di waktu pagi adalah Probowangi.
Hal ini saya rasakan juga ketika kembali dari Jakarta menggunakan Kereta Api Bima. Tidak ada pilihan selain Probowangi yang bisa saya gunakan untuk menuju Banyuwangi. Mau tidak mau saya harus mengorbankan punggung dan dengkul saya untuk bisa pulang tanpa harus menginap dulu di Surabaya.
Padahal, jika ada Mutiara Timur di jam 8-9 pagi, saya pasti akan memilih kereta api tersebut. Meskipun agak lama jika dibandingkan Probowangi, tapi ada fasilitas di Stasiun Surabaya Gubeng yang bisa dimanfaatkan untuk killing time. Selain itu, saya juga bersedia untuk bayar lebih demi fasilitas yang lebih baik untuk perjalanan pulang.
Penutup
Dari semua pembahasan ini, saya hanya bisa memberikan masukan bagi pegawai KAI untuk berhati-hati dalam bermedia sosial.Â
Gunakan bahasa yang baik dan berikan edukasi secukupnya. Tidak perlu menggunakan konteks lain yang tidak perlu seperti kufur nikmat atau semacamnya. Beri kesan yang baik untuk pelanggan.
Bagi KAI sendiri, saya berharap adanya perubahan di Gapeka selanjutnya. Pastikan Mutiara Timur kembali mendapatkan pangsa pasarnya. Kereta api ini sangat nyaman baik dari segi layanan maupun jadwal keberangkatannya.Â
Semoga dengan adanya kejadian ini, KAI dapat mengevaluasi kembali jadwal perjalanan dari kereta api tertua dan ikon dari Daerah Operasional (Daop) 9 Jember ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H