Pemberian rambu serta penjagaan ini adalah solusi jangka pendek dan menjadi salah satu upaya untuk menurunkan angka kecelakaan di perlintasan sebidang.Â
Solusi jangka panjangnya adalah dengan membangun perlintasan tidak sebidang, yang berupa flyover atau underpass.
Pembangunan flyover dan underpass maupun pemberian rambu-rambu dan penjagaan pada perlintasan sebidang adalah tanggung jawab dari pemerintah setempat.Â
Terkadang, karena kendala biaya, opsi flyover dan underpass biasanya menjadi pilihan terakhir.
Kecelakaan yang terjadi di perlintasan sebidang kebanyakan disebabkan oleh kelalaian manusia (human error).Â
Masyarakat biasanya menganggap enteng ketika akan melintasi perlintasan sebidang dengan mengabaikan rambu-rambu lalu lintas yang telah dipasang.
Padahal, sudah ada aturan yang menyebutkan bahwa, "Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengguna jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api" (Pasal 124 UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian).Â
Kemudian, ada juga peraturan yang menyebutkan, "Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan atau ada isyarat lain, mendahulukan kereta api, dan memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintas rel." (Pasal 114 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Kedua aturan tersebut juga menjadi alasan kuat, mengapa ketika terjadi kecelakaan di perlintasan sebidang, pihak operator seperti KAI dapat menuntut ganti rugi kerusakan sarana dan prasarana.Â
Bahkan, kalaupun pihak pengguna jalan menempuh jalur hukum, hasil akhirnya biasanya kesalahan dilimpahkan pada pengguna jalan.
Kecelakaan pada perlintasan sebidang menjadi salah satu hal yang juga diperhatikan oleh KAI, sejak tahun 2014 bersama Komunitas Edan Sepur Bandung serta pihak lainnya seperti Dinas Perhubungan Kota Bandung.Â