Bagi penggemar kereta api (railfans) Indonesia yang sudah lama berkecimpung di bidang fotografi atau videografi, mungkin sudah biasa dengan gurauan, "Hati-Hati nanti keciduk PKD (Petugas Keamanan Dalam)!"
Gurauan tersebut memang dalam beberapa tahun terakhir terjadi pada beberapa kalangan railfans yang tengah melakukan proses pengambilan foto atau video di area stasiun (hunting), di mana hasil foto atau videonya biasanya menjadi bahan unggahan di media sosial pribadinya.
Petugas Keamanan Dalam (PKD), menurut cerita dari railfans lewat media sosialnya, melakukan pelarangan untuk mengambil foto dan video di area stasiun. Mereka, para railfans, kerap ditanya mengenai surat izin dari bagian Humas.
Sebelum mengulas lebih dalam, kita perlu tahu dulu seputar aturan pengambilan foto dan video yang diizinkan oleh Kereta Api Indonesia (KAI). Aturan ini bersumber dari poster yang disosialisasikan oleh KAI melalui media sosial resminya.
Secara garis besar, KAI membagi kategori yang diperbolehkan untuk mengambil foto dan video di stasiun tanpa perlu izin khusus dan yang memerlukan izin khusus.
Pelanggan kereta api secara personal diperbolehkan mengambil foto dan video selama berada di area penumpang menggunakan alat jenis apapun mulai dari smartphone, kamera aksi (action cam), kamera DSLR, dan kamera mirrorless.
Pada kamera DSLR dan mirrorless pada umumnya memiliki perangkat tambahan (add-on) berupa lensa seperti lensa standar hingga tele yang bisa digunakan untuk memotret objek yang jauh. KAI tidak melarang penggunaan lensa tertentu selama pengambilan foto dan video masih dilakukan di area penumpang.
Namun, jika ada perangkat tambahan seperti mic eksternal, lighting, tripod, drone dan peralatan profesional lain yang berpotensi mengganggu pengguna kereta api lainnya atau memasuki wilayah di luar area penumpang seperti ruangan loket, kepala stasiun, ruang PPKA, Depo Sarana, dan semacamnya, maka diperlukan izin khusus terlebih dahulu.
Kesimpulannya, penumpang kereta api, selama masih berada di area penumpang, diizinkan untuk mengambil foto dan video dengan menggunakan perangkat apapun untuk kepentingan non-komersial, seperti diunggah ke media sosial pribadi.
Namun, bagi yang mengambil foto dan video untuk kepentingan lainnya seperti komersial atau bahan liputan, perlu mendapat izin terlebih dahulu dari unit terkait.
Aturan tersebut rasanya sudah cukup jelas dan dapat dipahami semua pengguna hingga penggemar kereta api. Tetapi, sepertinya masih sulit dipahami oleh petugas stasiun di lapangan.
Kurang lebih sepuluh hari yang lalu sejak artikel ini ditulis (9 Maret 2022), saya membaca cerita dari rekan railfans yang melakukan pengambilan foto di Stasiun Pasar Minggu Baru melalui media sosialnya. Menurut ceritanya, railfans tersebut menggunakan lensa tele ketika melakukan hunting di stasiun.
Saat melaksanakan hunting, railfans tersebut dihampiri oleh PKD yang menanyakan tujuan yang bersangkutan. Railfans tersebut menyebutkan hanya akan mengambil foto kereta saja. Petugas kemudian kembali menanyakan perihal perizinan dari Humas.
Jika mengacu pada aturan yang dikeluarkan KAI, seharusnya tidak diperlukan izin khusus dari bagian Humas. Alasannya adalah, foto hanya digunakan untuk keperluan pribadi (non komersial) dan menggunakan perangkat fotografi yang telah diizinkan untuk digunakan tanpa izin khusus.
Petugas rupanya tetap bersikukuh bahwa hal tersebut memerlukan izin khusus dari Humas. Alasannya, karena menggunakan lensa tele.
Setelah menyelesaikan hunting, railfans tersebut diantar oleh PKD yang menegur sebelumnya ke ruangan staf. Dia menjelaskan bahwa tujuannya hanya ingin hunting.
Sama halnya dengan PKD, petugas tersebut juga mengatakan bahwa penggunaan lensa tele memerlukan izin ke bagian Humas di Juanda. Petugas tersebut juga menelpon atasannya. Uniknya, atasannya malah menanyakan, "Lensa yang digunakan biasa atau seperti wartawan?"
Baik petugas dan railfans tersebut lantas melanjutkan adu argumennya. Petugas bersikeras bahwa pengambilan foto dengan perangkat mirrorless dan lensa tele harus izin Humas, sementara dari pihak railfans yang sudah memahami aturannya bersikeras bahwa hal itu tidak memerlukan izin khusus.
Cerita di atas adalah salah satu dari sekian banyak contoh kasus yang sudah pernah terjadi di kalangan para railfans terutama yang punya hobi fotografi. Mereka, pada dasarnya sudah memiliki pemahaman terkait aturan yang berlaku saat mengambil foto.
KAI sudah melakukan sosialisasi melalui media sosial resminya yang sekiranya mudah untuk dipahami oleh siapapun yang melihat postingan tersebut. Namun, seperti judul artikel ini, "Sudah efektifkah hal tersebut?"
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita melihat sejauh mana pemahaman sasaran sosialisasi tersebut dalam hal ini adalah pengguna kereta api (secara umum) dan penggemar kereta api (secara khusus).
Kita akan mengambil contoh kasus dari cerita rekan railfans yang saya jabarkan sebelumnya. Jika melihat argumen yang digunakan, railfans tersebut telah memahami dasar aturan yang diberlakukan oleh KAI saat melakukan hunting.
Hal itu terbukti dari pemahamannya soal peraturan bahwa hunting di area stasiun dengan perangkat kamera mirrorless, lensa tele, masih diperbolehkan. Dalam ceritanya juga, railfans ini juga mampu menjelaskan secara detail perangkat yang perlu izin khusus dari pihak Humas yaitu mic eksternal, tripod, lighting, hingga drone.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa railfans yang juga menjadi sasaran dari sosialisasi aturan pengambilan foto dan video di stasiun oleh KAI, dapat memahami aturan dengan baik. Dengan ini, bisa dikatakan bahwa sosialisasi tersebut sudah efektif di kalangan para railfans.
Meskipun demikian, pemahaman aturan ini justru berbanding terbalik hasilnya ketika diterapkan ke para pegawai KAI yang bertugas di lapangan. Pada cerita sebelumnya saja, argumen yang digunakan justru jauh dari aturan yang berlaku. Sebut saja, hanya menggunakan lensa tele, harus ada izin khusus terlebih dahulu.
Petugas bahkan menyebut lensa tele sebagai lensa yang biasa dipakai wartawan untuk memperkuat argumennya. Cukup aneh menurut saya pribadi, karena di era kecanggihan teknologi saat ini, seorang wartawan bisa saja hanya menggunakan smartphone untuk mendapatkan bahan liputan seperti menulis dan mengirim artikel, mengambil dan menyunting foto hingga video, sampai menerbitkan artikelnya atau mengunggah hasil foto dan video liputannya dalam waktu singkat.
Saya memiliki beberapa kenalan pegiat fotografi dan tidak sedikit dari mereka yang memiliki beragam koleksi lensa mulai standar, fix, hingga tele. Lensa tersebut juga mudah untuk didapatkan di toko-toko kamera. Artinya, pemilik lensa tele tidak hanya dari kalangan wartawan saja, namun bisa juga dari orang biasa yang memang menjadi pegiat fotografi.
Dari analisis sederhana ini, akhirnya muncul sebuah kesimpulan bahwa efektivitas sosialisasi aturan pengambilan foto dan video di area stasiun oleh KAI sudah termasuk baik bagi kalangan railfans, namun masih buruk untuk kalangan petugas di lapangan.
Padahal, seharusnya baik petugas di lapangan dan railfans atau pengguna kereta api memiliki pemahaman yang sama mengenai aturan pengambilan foto dan video ini.
Beberapa hari setelah viralnya cerita rekan railfans tersebut, melalui media sosial TikTok, KAI Commuter mengunggah video mengenai tips aman mengambil foto dan video di area stasiun. Humas KAI Commuter Anne Purba melalui akun Twitter-nya turut membagikan video tersebut dan meminta untuk menghubungi pihaknya apabila ada petugas yang melarang.
Tips aman ambil Foto & Video di stasiun, Kemarena teman2 mnt videonya. Ini ya kolaborasi @CommuterLine dengan Railfans/komunitas, yuk utamakan keselamatan ya, jangan lupa taq commuterline kalau upload ya @mas_didiek @JalurNambo @jalur5_ @KAI121 @keretaapikita pic.twitter.com/SuRmr9FPMp--- Anne Purba (@annepurba) April 16, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H