Mohon tunggu...
S Mauludy Y
S Mauludy Y Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Data

lifelong learner. generalist in tech

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kisah untuk Berbagi

15 Mei 2014   06:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kisah untuk Berbagi Arti

Hidup sejatinya seperti tempat persinggahan sebelum kembali berjalan ke tujuan.

Kondisi di tempat singgah ini sungguh penuh sesak dengan tantangan, peluang, masalah maupun hambatan.

Tempat singgah ini bagaikan potongan surga dan neraka. Dimana keindahan alam seperti bongkahan nirwana dari langit ini juga bertemu dengan masalah yang bagai batu neraka bisa membuat lidah ini kelu tak dapat melanjutkan cerita.

Di tempat singgah ini, kami adalah makhluk yang diberikan amanah untuk menjadi pemimpin, yang harus berbagi tempat dengan makhluk lainnya. Dengan berjalannya waktu, jumlah pemimpin di tempat singgah ini semakin bertambah. Pemimpin disini beragam, dari mulai kulit putih, kuning, coklat gelap sampai dari yang bedebah hingga yang berhati mulia. Saya yang menuturkan memoar kisah kami ini adalah bagian dari makhluk yang diberikan tanggung jawab mengelola tempat singgah itu, saat ini.

Sampai pada satu saat, di peradaban kami, kami menyadari..

Kehidupan di tempat ini seperti puzzle yang setiap individu memiliki bingkai gambar berbeda. Puzzlenya tidak lengkap, hingga banyak diantara kami yang bingung dengan makna setiap potongnya.

Layaknya bermain dalam sebuah film, kami disini menjelma bagai aktor yang sedang mementaskan lakon hidup diatas panggung tempat singgah ini.

Sebagai aktor kami memiliki peran sendiri-sendiri, namun akhir-akhir ini kami menyadari bahwa film tidak akan pernah bisa diperankan oleh satu aktor. Kami tidak mengetahui skenario apa yang sedang dijalankan Sang Sutradara. Bahkan untuk sekedar plot dan alur cerita. Semuanya begitu mengejutkan, just in time, dan terjadilah adegan-adegan yang mementaskan kisahnya. Kami menyadari dalam skenario film ini terdapat banyak aktor, hingga pemain figuran yang melintas tanpa membekas arti. Beberapa dari kami selalu berusaha untuk menjadi aktor utama, dalam peran apapun, hingga kebanyakan mereka terkesan antagonis. Maaf maksud kami beringas dan haus kuasa atas sesama pemain lakon ini.

Kami bagai tokoh dalam cerita yang juga sedang berbagi cerita untuk mendapatkan makna. Frame in the frame. Kami diberi akal, daya imajinasi dan kemampuan survival dalam mementaskan drama hidup ini. Dengan bekal itu, kami juga menerka-nerka apa yang sedang diperankan kami, siapa yang menonton aksi kami dalam bingkai ini?

Sungguh, jangankan naskah film yang sudah dituliskan itu kami ketahui, setting lokasi dan adegan pun kami lakukan atas kehendak Sang Sutradara. Kami benar-benar tak punya daya untuk berperan menyerupaiNya, bahkan sekedar mengintip seperi apa dialog kami 2 menit kedepan.

Lantas apa yang menjaga kami untuk tetap berperan di tempat singgah ini?

Sang Sutradara juga melengkapi kisah dibalik layar, behind the scene, ini dengan petunjuk. Petunjuk yang sempat direvisi 3 kali sebelum akhirnya yang keempat ini menjadi pedoman peran tercanggih untuk kami di lakon hidup ini. Dalam petunjuk yang diberikan, kata perintah pertama di bagian pembuka saat ditulis oleh Sang Sutradara yaitu: Baca.

Ya, kami diminta untuk membaca agar dapat menyelami esensi peran ini. Membaca untuk membuka kesadaran akan terbatasnya pola tingkah kami. Membaca untuk mengerti bahwa kami disini berperan bersama-sama, untuk bersiap berangkat ke tujuan, yang lagi-lagi hanya Sang Sutradara yang mengetahui alurnya.

Kami membaca untuk memaknai. Sebagian dari kami akhirnya menyadari hal itu. Namun bagian besar lainnya nampak terlalu menikmati peran yang bisa dipilih-pilih ini. Larut dalam euforia peran yang menyenangkan, dan tenggelam menikmati lautan emosi dan depresi karena hasrat peran tak terpuaskan.

Hidup di tempat singgah ini sangatlah dalam tingkatannya, sedalam kami mencari-cari makna potongan puzzle ini. Berlapis. Berlapis-lapis seperti lokasi tempat singgah yang jika kami mendongak keatas, rasanya disana ada film utopia lain saking terlalu dan sangat teramat luasnya. Dengan bekal spesial dan petunjuk yang kami miliki, kami bersama membangun peran lain untuk menerangi kegelapan ini.

Kami menjelma menjadi lilin di sudut panggung ini, lilin yang mencari sumber cahaya untuk  perlahan menangkapnya demi menerangi gelapnya sudut pandang kami. Sering kali dalam gelap ini, kami saling bertarung, saling tikam, saling menghilangkan. Ya, itulah namanya ego. Kami memiliki ego diri. Ego hadir dari ketakutan dan nafsu kami. Perintah untuk menjadi pemimpin yang terbaik, dalam gelap ini, kami artikan sebagai adegan untuk unggul dan berkuasa atas segala hal pada panggung ini. Lalu apa yang bisa kami perbuat untuk menerangi alur ini?

Maka kami mulai dengan merintis suatu proses pemahaman, dan pendalaman makna dari pentas singgah sementara ini. Yaitu dengan pendidikan.

Didik adalah kata dasar peran ini. Didikan adalah pemeran utama disini. Tidak, bukannya kami ingin menyaingi Sang Sutradara dengan mencoba membuat film sendiri. Tidak ada sutradara dalam peran ini. Semuanya adalah aktor, didikan, pemeran utama.

Kami mulai pendidikan ini dengan mengakumulasikan bersama cahaya yang dipunya. Secercah cahaya yang dimiliki diantara kami adalah harapan kami untuk melihat segalanya dengan terang. Kami mulai meniti dan menyelami luasnya samudra makna ini. Kami sebut dengan ilmu pengetahuan. Ilmu untuk memaknai makna,dan pengetahuan untuk membuka jalan kami menuju tujuan.

Satu generasi perintis kami sudah tuntas memulai dan mengakhiri proses pendidikan ini dengan segala harap dan usahanya untuk menerangi jalan. Masanya sudah habis. Peran yang mereka mainkan memang memiliki batas, layaknya durasi film yang sudah tercatat pasti lama waktunya. Pada bagian epilog scene peran mereka, dengan sedikit cahaya itu mereka jadikan pijakan, milestone, langkah awal kemajuan peradaban kami dimulai. Begitulah alur tersebut berputar hingga kami terima estafet ini di masa kami. Sejauh ini, langkah pada alur proses pemaknaan yang sudah ribuan tahun berjalan ini mampu menghasilkan peradaban baru. Peradaban yang lebih maju. Maju untuk kami. Saya sendiri tidak menjamin bahwa makhluk lain juga mengalami kemajuan bersama dengan pola kepemimpinan kami.

Saat ini, saya yang mewakili kami, menulis pada alat bantu yang dalam sepersekian detik bisa menafsirkan apa yang saya lakukan pada tuts panelnya. Sangat responsif. Begitulah peran di peradaban kami. Berkembang pesat, cepat dan masif. Kami membayangkan jika setiap peradaban dari kita harus memulai menemukan cahaya dari awal. Berilmu dari pendidikan rintisan. Maka tidak akan pernah bisa kami sampaikan kisah dalam kisah ini kepada kalian.

Betapa gelapnya hidup kami tanpa saling memberi pijakan, memberi cahaya, dan ilmu pengetahuan yang sudah dilakukan dalam proses yang disebut pendidikan itu. Bagai mata rantai yang saling terpaut, panjang dan masa depannya ditentukan dari apa yang diberikan mata rantai terakhir untuk mata rantai yang baru. Mirip seperti menenun benang, dimana tujuan peran kita adalah menjadi kain. Perlu merajut terus-menerus. Sustainable. Inilah konsep pendidikan yang telah, sedang dan akan kami jalani.

Kami juga tidak lupa dengan peran kami masing-masing dalam lakon ini. Pada suatu masa, leluhur kami juga menemukan ujung kemampuan kami, yang kami sebut keterbatasan. Dari segala hipotesa yang diuji, kami mengamini bersama bahwa peran kami ini adalah jalan hidup. Ways of life. Dimana kami menjalaninya dengan penuh juang, peluh, darah serta airmata. Kami tidak pernah mencapai hidup yang 1, hidup yang sempurna. Hidup kami bagaikan formulasi limit mendekati x, dimana nilai kesempurnaan didalam x tersebut mustahil dicapai. Ya, itulah batas kemampuan kami. Itu juga yang menjadikan kami terus menerus bersama, tidak bisa berlakon sendiri, dan meniti kisah ini demi menemukan potongan puzzle masing-masing.

Sampailah kami untuk mendekap kesimpulan bahwa hidup haruslah saling berbagi. Kami tidak pernah tau keseluruhan makna hidup dalam peran ini jika tidak pernah memberi, tidak pernah menerima dan tidak melangkahkan peran ini dalam pentas diantara kita. Layaknya berbagi peran dalam satu momen skenario, kami yang tidak sempurna ini, menyempurnakan langkah kami dengan memberikan ruang bagi sesama. Ruang ini kami berikan untuk saling mengisi dalam keterbatasan, saling memberi arti hingga dicapai kata mengerti.

Kisah ini menuturkan makna berbagi, karena Sang Sutradara memberikan panggung hidup dan semuanya ini bukan tanpa arti. Jika kalian temukan arti lagi, berbagilah. Berbagilah karena itu satu-satunya yang membuat mereka, kami dan kalian menemukan potongan makna dari puzzle kita. Menemukan esensi untuk apa kita berada di tempat singgah ini.

Teruslah temukan arti dibalik peran ini. Temukannya lalu berbagi ke sesama. Hanya dengan itu. Hanya dengan cahaya arti yang dibagi itulah kita menuju pada kecermelangan peradaban. Meniti titian ikat rantai kehidupan dalam panggung peran.

Karena Sang Sutradara ingin kita menyadari. Bahwa hidup di tempat singgah ini sungguh untuk mengambil arti-arti. Arti kehidupan yang tersebar disetiap senti peran yang kita lakoni. Apa yang kami lakukan hari ini, tidak lain menginginkan peran ini menjadi lebih bermakna. Peran yang lebih memiliki suara. Suara hati nurani yang ingin film kita terus bertransformasi. Pada akhirnya tujuan kita sama. Menutup film kehidupan ini dengan happy ending hingga Sang Sutradara pun tersenyum indah diatas singgasana langitNya

Karena tempat singgah ini bukan untuk beristirahat.

Apa yang kita tanam kini, adalah penentu keberlangsungan jalan didepannya.

Tempat ini untuk mempersiapkan bekal esok hari.

Esok yang tak pernah kita tau peran dan adegan apa yang akan terjadi.

Pilihan memang ditangan masing-masing.

Untuk berperan sebagai aktor, atau layaknya figuran yang melintas tanpa membekas makna.

Kisah ini saya bagikan untuk kalian yang mencari arti. Mencari makna dibalik makna.

Ditulis di Tempat Singgah Kita,

Disuatu masa yang ditetapkan untuk disepakati bersama,  14 Mei 2014.

--SMY--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun