Banyak hal menarik ketika membaca kembali ide revolusi mental Joko Widodo (Jokowi) yang ditawarkan sebagai solusi atas permasalah bangsa Indonesia.
Setelah menjelaskan permasalahan bangsa, Jokowi membuat pernyataan yang menurut saya benar dan tepat, “Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.”
Kebingungan nasional coba dijawab oleh Jokowi dengan tawaran “paradigma baru” karena menurutnya apa terjadi di Indonesia selama ini hanya sebatas institusional, belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).
Jokowi mengutarakan dua sebab reformasi 1998 tidak memperbaiki keadaan, yaitu:
- Karena nation building sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya.
- Mismanagement – salah mengelola Negara.
Jokowi juga mengutarakan indikasi kegagalan reformasi 1998 dengan menyebut
- Sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif, seperti korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis dan semua ini harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita.
- Pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya.
Jokowi meyakini jika masalah diatas tidak dikelola dengan benar akan berakibat pada kehancuran bangsa.
Sebagai pintu masuk, Jokowi membuat pernyataan bahwa prinsip-prinsip paham (ideologi) liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia dan mengusulkan Indonesia untuk melakukan tindakan korektif dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Revolusi Mental
Menurut Jokowi, revolusi mental tidak memerlukan pertumpahan darah, dan ini mengacu kepada ide pendiri bangsa Indonesia yang dikenal dengan sebutan TRISAKTI, yaitu:
- Indonesia yang berdaulat secara politik,
- Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan
- Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya.
Jokowi menafsirkan “Indonesia yang berdaulat secara politik” sebagai Kedaulatan rakyat haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil dan birokrasi bekerja melayani kepentingan rakyat. Untuk itu perlu mencangkan identitas bangsa dan Indonesia harus hidup dengan nilai-nilai moral agama
Menurut Jokowi, paradigma ini harus dimulai dari setiap orang, dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan meluas menjadi lingkungan kota dan Negara restu Allah.
Sekarang, ijinkan saya mengutarakan beberapa pemikiran dengan maksud memberi masukan agar revolusi mental ini benar-benar menjadi gerakan nasional:
Pertama, saya sependapat dengan pernyataan Jokowi bahwa pemimpin dan pemikir Indonesia bingung dengan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Semua pemimpin tidak puas dengan apa yang terjadi dan semua ingin perubahan model pembangunan tetapi tidak mengerti model sepeti apa yang ingin dibangun, itu namanya bingung.
Kedua, ketika Jokowi mengatakan bahwa pemimpin dan pemikir bingung, saya mengasumsikan bahwa Jokowi sedang tidak bingung artinya dia memiliki knowledge, understanding and wisdom untuk mengatasi permasalahan bangsa. Ini terbukti dengan usulannya yang diberi nama “Revolusi Mental” dan disebutnya sebagai paradigma baru (new paradigm).
Ketiga, kesalahan cara kelola Negara (mismanagement) adalah sebab paling mendasar, dan Jokowi menyatakannya dengan sangat tepat. Artinya, bisa diduga bahwa Jokowi mengerti model managamen yang benar untuk mengelola Negara. Itu terbukti dengan usulan Jokowi bahwa pembangunan bangsa (national building) harus berfokus membangun manusia bukan institusi. Saya percaya ini benar. Pemimpin sejati tidak “building building tapi building people.” Secara konsep Jokowi benar.
Kempat, hal yang menarik adalah Jokowi menyebut beberapa contoh budaya atau nilai yang merusak dan dia ingin menggantinya, antara lain; korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
Tapi sayang, Jokowi tidak berani menyatakan hal-hal yang menyentuh kehidupan sehari-hari seperti budaya: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan dan pesta pora.
Sebenarnya yang perlu dibangun bukan hanya para pemimpin tetapi semua warga Negara Indonesia karena yang mengalami kerusakan bukan hanya pemimpin tetapi juga warga Negara Indonesia, artinya yang perlu diganti adalah budaya Negara.
Kelima, secara khusus Jokowi menyebut bahwa “ingin cepat kaya”, atau istilah saya “cinta akan uang” telah menjadi sumber masalah itu sangat tepat dan ini harus diakhiri, tapi untuk masalah ini Jokowi tidak memberikan jalan keluar.
Untuk masalah cinta akan uang ini perlu brainwash atau wash the brain bahwa uang tidak perlu dikejar, yang harus dikejar dan dicari adalah konsep-konsep kebenaran lalu dipraktikan di Indonesia. Dengan demikian uang dan fasilitas lain akan mengikutinya.
Jokowi juga menolak idelogi liberalsime dan menawarkan revolusi mental. Saya kira ini class atau pertarungan ideologi yang nyata. Paham liberalism dilawan oleh revolosi mental dengan tiga sila sakti; Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya.
Saya percaya, konsep Trisakti ini masih dan relevan untuk konteks Indonesia saat ini, namun saya melihat ada kekeliruan tafsir yang dilakukan oleh Jokowi.
Jokowi menafsirkan “Indonesia yang berdaulat secara politik” sebagai Kedaulatan rakyat haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Untuk itu Indonesia harus hidup dengan nilai-nilai moral agama.
Kesalahan tafsir yang saya maksud adalah bahwa kedaulatan Negara tidak berarti kedaulan rakyat. Ini terdengar bodoh, tetapi saya percaya demokrasi bukanlah sistem yang terbaik. Demokrasi percaya bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Saya kira tidak begitu. Ingat peristiwa abat ke-11 sebelum masehi, ketika Tuhan menolak suara rakyat Israel yang meminta raja tapi rakyat tetap bersikeras sampai akhirnya mereka memiliki raja hasil “pemilu” yang demokratis. Apa yang terjadi, kerajaannya tumbang dan bangsa Israel hidup dari krisis kepada krisis berikutnya. Menurut saya, suara Tuhan bukan suara rakyat dan suara rakyat bukan suara Tuhan. Jadi Indonesia berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya artinya Indonesia sebagai Negara harus hidup dengan nilai-nilai moral yang tinggi. Ini saya sebut nilai-nilai moral kerajaan surga, bukan nilai-nilai agama seperti yang disampaikan Jokowi. Nilai-nilai yang lebih tinggi secara konkrit saya daftar sebagai berikut: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.
Terakhir, saya tidak setuju kalau Jokowi menyebut bahwa revolusi mental ini adalah paradigma baru (new paradigm) karena ini tidak baru sama sekali dan saya percaya seorang Jokowi bukanlan penyelamat Negara atau satria piningit. Karena Jokowi adalah orang biasa yang dipilih oleh rakyat dan ditempatkan sebagai penguasa untuk menyelesaikan permasalahan Negara. Demokrasi memaksa Jokowi untuk tahu lebih banyak dan bertindak lebih pintar dari rakyat yang lain dan bagi saya itu tidak mungkin terjadi.
Jadi, revolusi mental itu tidak perlu disebut paradigma baru, yang kita perlukan adalah “the original paradigm”. Paradigma asli yang sudah Tuhan berikan kepada manusia sejak awal penciptaan, yaitu pertama bahwa bahwa manusia harus serupa dan segambar dengan Allah. Segambar artinya memilik nature atau karakter Allah. Kedua bahwa manusia harus hidup dalam budaya baru; kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Budaya itu akan sanggup mengalahkan budaya buruk yang disebut Jokowi; korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
Akhirnya harapan saya Indonesia tidak hanya menjadi baik tapi juga menjadi benar di hadapan Allah. God bless Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H