Akhir-akhir ini saya sering membaca status Facebook teman-teman di Yogyakarta mengenai kemacetan dan kesemrawutan kota Yogyakarta. Sedih saya membacanya, kota yang saya banggakan telah hilang rasa nyamannya.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menjadikan Yogyakarta kembali nyaman dan tertib. Akan tetapi banyak kebijakan yang harus dilakukan oleh pemangku jabatan tertinggi di Yogyakarta yaitu Gubernur DIY. Banyak aksi dan kebijakan dari Gubernur DKI Joko Widodo yang dapat diadopsi untuk membuat kondisi Yogyakarta nyaman dan tidak semrawut. Satu hal yang paling utama adalah menghentikan pembangunan mall yang saat ini massif dilakukan, dan ini tidak bisa dilakukan hanya dengan himbauan atau keluhan tetapi dengan Peraturan Gubernur yang detail mengatur mengenai tataruang dan rencana tataruang kota Yogyakarta kedepan. Bahkan saya kira aturan dapat dibuat lebih detail mengenai penataan gedung-gedung area bisnis di kota Yogyakarta, dengan bentuk bangunan yang bercirikan Yogyakarta, dengan trotoar yang luas dan rindang sehingga nyaman untuk pejalan kaki. Kemudian dilakukan beberapa perbaikan untuk mengembalikan kondisi agar tertib, nyaman, tidak semrawut dan macet, dan menghilangkan beberapa area kumuh yang ada di Yogyakarta. Salah satu hal utama yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan arus lalulintas di kota Yogyakarta, menyikapi bahwa jalan-jalan di Yogyakarta adalah jalan-jalan yang sempit dan pendek, sehingga banyak ruas jalan yang akan lebih baik apabila dijadikan jalan satu arah. Akan tetapi dengan trotoar yang lebar, rapi, rindang dengan pepohonan dan bebas pedagang untuk memberikan kenyamanan bagi para pejalan kaki; serta adanya jalur khusus untuk pesepeda yang aman dan nyaman. Karena apabila kota Yogyakarta menjadi kota yang rapi, indah, rindang, sejuk dan nyaman; maka para pesepeda dan pejalan kaki akan lebih senang mengayunkan kaki mereka daripada mengendarai mobil atau sepeda motor.
Malioboro adalah ikon utama kota Yogyakarta. Walau saya sudah dua tahun tidak pernah melihat Malioboro, tetapi saya masih ingat dan kondisinya pasti tidak berubah dalam dua tahun ini. Satu yang saya ingat tentang Malioboro adalah macet di beberapa titik, semrawut, dan tidak nyaman untuk para pejalan kaki.
Saya selalu membayangkan seandainya Jalan Malioboro dijadikan area bebas kendaraan bermotor sejak dari ujung paling utama (dibatasi oleh palang kereta api) hingga ujung Jalan Jendral Ahmad Yani yaitu perempatan di dekat kantor pos – gedung Bank BNI. Sehingga Malioboro akan menjadi area yang nyaman untuk pejalan kaki, seperti beberapa daerah di luar negeri, misalnya Marienplatz di Munich, Jerman. Mungkin kendaraan bisa tetap diijinkan untuk masuk hanya becak dan andong, tetapi tetap dengan aturan dan tata terbit serta alur perjalanan yang detail mengatur mereka sehingga kondisi nyaman dan tertib tetap terjaga.
Penghijauan juga menjadi hal yang paling penting disana, karena saya masih ingat betapa panas dan gersangnya Malioboro. Setiap beberapa meter dapat ditanam sebuah pohon besar nan rindang dengan kanopi pohon yang mengembang selaksa payung. Saya melihat bahwa di beberapa titik kota Yogyakarta ditanami pohon bertajuk meruncing keatas, yang memang pohon-pohon tersebut menyerap polusi udara lebih baik; akan tetapi apabila ditambah dengan keuntungan kerindangan dan keteduhan, pohon-pohon bertajuk mengembang akan lebih baik. Pohon-pohon seperti pohon gayam dan beringin, bahkan juga bisa berperan sebagai pengikat air. Jadi fungsi konservasi lahan juga bisa diperoleh disini dengan memanam pohon gayam dan beringin sebagai perindang di jalan-jalan selain mendapatkan fungsi sebagai penyerap polusi udara.
Selain masalah kenyamanan untuk pejalan kaki, Malioboro bisa dijadikan suatu area public space untuk aktifitas dan interaksi masyarakat warga kota Yogyakarta. Fungsi public space Malioboro juga memungkinkan dapat diakomodasikannya para pelaku seni untuk mempertontonkan kepada para pengunjung ide kreatif mereka melalui area-area terbuka dimana mereka dapat bermain seni, misalnya bermain music, menari, atau berpantomim. Selain itu, ada satu hal yang tidak bisa dihilangkan di Malioboro yaitu adanya masyarakat yang telah mengantungkan hidupnya disana dengan berjualan makanan di trotoar Malioboro. Dengan demikian penataan para pedagang makanan menjadi hal penting pula. Mereka dapat diberi tenda-tenda atau rumah-rumahan berbentuk rapi dan indah, dengan penataan kursi-kursi yang seragam dan rapi pula. Sehingga kawasan Malioboro dapat dipergunakan sebagai kawasan santai dan tempat hang out yang asyik. Tetapi harga makanan dan minuman harus terkontrol, karena seperti yang kita ketahui para pedagang di Malioboro seringkali memberikan harga yang sangat mahal kepada para turis baik turis domestic maupun international.
Mengenai kantong parkir bagi pengunjung Malioboro, sebenarnya ada dua kantong parkir yang saat ini telah ada dan dapat dimaksimalkan keberadaannya, yaitu kantong parkir di utara Hotel Garuda dan di selatan Pasar Beringharjo. Kedua kantong parkir tersebut dapat dibangun menjadi gedung parkir 3 atau 4 lantai, bahkan dapat pula dengan parkir bawah tanah. Saya kira dengan pembangunan kedua kantong parkir tersebut menjadi kantong parkir bertingkat, akan dapat menampung para pengunjung Malioboro.
Beberapa area penyangga Malioboro, yaitu area sekitar Gedung Taman Budaya Yogyakarta, dapat pula dijadikan public space yang bebas kendaraan, dengan para PKL yang tertata rapi. Sehingga arus kendaraan dapat difokuskan pada Jalan Pabringan yaitu jalan yang menuju kantong parkir Pasar Beringharjo yang menuju Jalan Mayjen Suryotomo. Sementara becak dan andong hanya diperkenankan untuk masuk dan keluar kawasan Malioboro dari Jalan Abu Bakar Ali dan Jalan Senopati. Sehingga tidak terjadi semawrutan di Jalan Pabringan, apabila jalan tersebut bebas PKL, becak, dan andong. Sementara para PKL yang ada disekitar Malioboro termasuk Pasar Beringharjo dapat dimasukkan kedalam Pasar Beringharjo, karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa Pasar Beringharjo lantai dua dan tiga masih banyak area yang kosong. Sehingga dengan adanya penataan kembali Pasar Beringharjo, saya kira area sekitarnya bisa bebas PKL yang selama ini telah berperanserta untuk menyebabkan kesemawrutan jalan-jalan.
Jalan MayjenSuryotomo dapat dijadikan jalan satu arah hingga Jalan Mataram dan Jalan Abu Bakar Ali, dengan dua jalur kendaraan bermotor, sementara sisi tepi barat jalan atau timur jalan dapat dijadikan Parkir Kendaraan On Road yang resmi berbayar kepada pemerintah (dengan mesin parkir), karena selama ini telah pula menjadi parkir liar yang uangnya tidak mengalir kepada pemerintah. Di beberapa titik dapat dibangun halte sederhana bus TransYogya, untuk sekedar menaikkan dan menurunkan penumpang. Penataan arus lalulintas harus pula menyertakan penataan arus kendaraan dari dan k e Mall Progo yang ada di Jalan Mayjen Suryotomo.
Saya tidak tahu bagaimana sekarang, tetapi dua tahun yang lalu gedung bekas toko Progo yang ada di depan Taman Budaya Yogyakarta itu telah menjadi gedung yang berbengkalai, kotor dan sangat tidak indah. Alangkah baiknya apabila gedung tersebut dibeli oleh Pemerintah Provinsi DIY dan dapat dimanfaatkan untuk hutan kota. Hutan kota merupakan suatu hal yang sesungguhnya wajib ada dalam pengembangan suatu kota tetapi tidak dimiliki oleh kota Yogyakarta, sehingga dengan mengembangkan hutan kota di area yang kecil tetapi banyak, saya kira akan menjadi baik pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H