Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberlakukan tarif signifikan terhadap Meksiko, Kanada, dan China mencerminkan perlawanannya terhadap globalisasi. Pendekatan proteksionis itu dapat dianggap radikal dan berpotensi mengganggu arsitektur perdagangan internasional.Â
Tarif Trump berkisar 25% pada impor barang-barang dari Meksiko dan Kanada, serta 10% pada barang-barang China. Kebijakan itu telah benar-benar mendekonstruksi rezim perdagangan bebas yang telah dibangun selama beberapa dekade terakhir.
Argumentasi utama Trump berbasis pada isu keamanan nasional, terutama terkait imigrasi ilegal dan peredaran narkoba. Isu keamanan nasional juga yang dipakai Trump untuk melarang produk-produk China, termasuk Huawei, mobil listrik, dan, terkahir, DeepSeek AI.
Namun, langkah ini tampaknya lebih menjelaskan pendekatan unilateral yang berpotensi menimbulkan konsekuensi ekonomi global yang destruktif. Menurut data CNN, tarif ini berisiko menimbulkan kenaikan harga barang konsumen dan gangguan rantai pasokan yang signifikan.
Melawan Globalisasi
Perspektif globalisasi yang dikembangkan oleh pemikir seperti Thomas Friedman dalam "The World is Flat" secara diametral bertentangan dengan kebijakan Trump. Menurut Friedman (2005), globalisasi mendorong keterhubungan ekonomi tanpa batas.Â
Sementara itu, tarif Trump justru membangun tembok ekonomi yang membatasi pertukaran barang dan jasa. Reaksi balasan ketiga negara-negara itu sangat jelas.
Kanada mengumumkan tarif balasan 25% pada produk AS senilai $155 miliar. Lalu, Meksiko dan China juga mempersiapkan langkah kontra.Â
Perang tarif itu berpotensi memicu siklus destruktif perang dagang yang dapat melemahkan ekonomi global. Rantai pasokan global bakal terpengaruh kebijakan unilateral dalam bentuk tarif.Â
Meski tidak langsung terdampak, resiko eskalasi konflik perdagangan global patut diwaspadai Indonesia. Sebagai negara dengan ketergantungan ekspor yang signifikan, Indonesia berpotensi menjadi korban tidak langsung dari disrupsi perdagangan internasional.