Kedua, fenomena itu mengungkapkan rapuhnya sistem informasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan finansial. Di era algoritma, satu kesalahan kode dapat memicu gejolak pasar.
Persepsi Mengalahkan Data Â
Insiden nilai tukar rupiah juga mengungkapkan bagaimana media sosial mempercepat penyebaran informasi—baik akurat maupun tidak. Laporan Kompas memperlihatkan tagar #RupiahAnjlok menjadi trending di Twitter. Sementara itu, Kontan mencatat bahwa pencarian Google sempat "terkunci" di angka Rp8.000.Â
Dalam ekonomi politik, narasi yang dominan di media sosial dapat menciptakan realitas paralel. Misalnya, meski BI telah mengklarifikasi, rumor tentang kejatuhan Rupiah bisa memicu aksi jual panik di pasar valas.Â
Fenomena yang dikenal sebagai self-fulfilling prophecy. Untungnya, kejadian ini berlangsung di hari libur, yaitu Sabtu, ketika pasar saham tutup.Â
Walaupun spekulasi inj bisa saja berlanjut hingga besok Minggu. Namun, peristiwa tidak terduga bisa saja terjadi hingga fenomena ini tidak mengakibatkan gejolak pada di hari Senin lusa.
Tantangan Otoritas MoneterÂ
Respons cepat BI mengklarifikasi kesalahan teknis patut diapresiasi. Namun, insiden ini tetap saja masih menyisakan pertanyaan: sejauh mana otoritas moneter siap menghadapi disrupsi digital?Â
Platform, seperti Google dan Meta, telah menjadi sumber informasi utama masyarakat pada saat ini. Meski begitu, kenyataan jugaberbicara bahwa mereka bisa dianggap tidak bertanggung jawab atas akurasi data ekonomi.
Selain itu, insiden ini mencerminkan ketergantungan berlebihan pada teknologi asing. Jika Google—perusahaan AS—dapat memengaruhi persepsi kurs Rupiah, hal ini berpotensi menjadi alat intervensi ekonomi non-konvensional. Oleh karena itu, memperkuat infrastruktur teknologi finansial dalam negeri adalah langkah strategis untuk menjaga kedaulatan ekonomi.
Perubahan ekstrim pada kurs rupiah dapat menimbulkan dampak politik. Pemerintahan bisa saja dianggap gagal menjaga stabilitas Rupiah dan berisiko kehilangan legitimasi.Â
Kota bisa mengingat krisis moneter 1997 yang menjadi pemicu keruntuhan rezim Orde Baru pada Mei 1998. Meski berskala kecil, insiden ini mengungkapkan betapa nilai tukar Rupiah tidak hanya soal angka, tetapi juga cerminan kepercayaan terhadap kepemimpinan nasional.
Insiden kesalahan kurs Rupiah ke Rp8.170 dapat dipandang sebagai cerminan dari ekonomi politik Indonesia yang rapuh di era digital. Nilai tukar tidak hanya ditentukan oleh neraca perdagangan, tetapi juga oleh persepsi, kebijakan, dan kekuatan teknologi.Â