Keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS—kelompok negara berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—dapat dipandang sebangai babak baru dalam diplomasi multilateral Indonesia. Keputusan ini juga termasuk langkah pertama dalam diplomasi pemerintahan Presiden terpilih Prabowo.
Langkah ini tidak dapat dielakkan telah mengundang perbandingan dengan peran tradisional Indonesia di ASEAN. Organisasi regional di kawasan Aia Tenggara itu telah menjadi pilar kebijakan luar negeri Indonesia selama beberapa dekade.Â
Artikel ini menganalisis pergeseran diplomasi multilateral Indonesia dari ASEAN ke BRICS, dampaknya terhadap kebijakan luar negeri, dan tantangan yang mungkin bakal dihadapi negeri ini dalam menjaga keseimbangan antara kedua platform tersebut.
ASEAN: Pilar Diplomasi Regional Indonesia
Sejak pendiriannya pada 8 Agustus 1967, ASEAN telah menjadi landasan diplomasi Indonesia di Asia Tenggara. Sebagai salah satu anggota pendiri, Indonesia memainkan peran kunci dalam membentuk norma dan prinsip ASEAN, termasuk prinsip non-intervensi dan konsensus.Â
Melalui ASEAN, Indonesia berupaya menciptakan stabilitas regional, mendorong integrasi ekonomi, dan mempromosikan kerja sama politik serta keamanan di kawasan.
ASEAN telah menjadi platform utama bagi Indonesia untuk mengekspresikan identitas regionalnya dan mempromosikan stabilitas di Asia Tenggara. Diplomasi melalui ASEAN memungkinkan Indonesia untuk memainkan peran sebagai mediator dan pemimpin regional, memperkuat posisinya dalam komunitas internasional.
BRICS: Ekspansi Diplomasi ke Tingkat Global
Keputusan bergabung dengan BRICS mengindikasikan ambisi Indonesia untuk memperluas jangkauan diplomasi multilateralnya ke tingkat global. BRICS mewakili sekitar 40% populasi dunia dan lebih dari 25% PDB global.Â
BRICS juga menawarkan platform bagi Indonesia untuk terlibat dalam isu-isu global seperti reformasi tata kelola ekonomi dunia, perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.