Desember 2002, musim panas Australia membuat Clayton terasa seperti kampung halaman. Daun-daun eucalyptus bergoyang diterpa angin, menciptakan bayangan yang menari di trotoar Wellington Road.Â
Enam bulan tinggal di "Klaten"-nya Melbourne ini membuat mas Dab mulai terbiasa dengan ritme kehidupan suburbia yang tenang, meski kadang masih tersenyum geli mendengar mahasiswa Indonesia menyebut Clayton sebagai Klaten.
Gereja St. Peter's di Clayton berdiri sederhana di ujung Paddy's Street. Setiap Minggu, mas Dab duduk di deretan tengah, berusaha mengikuti liturgi berbahasa Inggris dengan logat Australia yang masih terasa asing di telinga.Â
Untungnya, komunitas Katolik Clayton terkenal ramah pada mahasiswa internasional. Sister Margaret, suster berusia 70-an yang selalu menyapa dengan senyum hangat, bahkan hafal nama-nama mahasiswa Indonesia yang rajin ke gereja.
Natal tahun itu terasa berbeda. Tidak ada pohon cemara plastik seperti di rumah, tidak ada kue nastar buatan ibu, dan tidak ada koor paduan suara yang menyanyikan "Malam Kudus" dalam bahasa Indonesia.Â
Sebagai gantinya, pohon cemara asli setinggi tiga meter berdiri di halaman gereja, dihias dengan lampu-lampu yang berkedip melawan terang matahari musim panas.
Persiapan Natal di Clayton dimulai sejak awal Desember. Mas Dab bergabung dengan kelompok volunteer untuk mendekorasi gereja.Â
Di antara tumpukan hiasan dan lampu-lampu natal, dia bertemu Michael, mahasiswa teknik dari Malaysia, dan Sarah, local student yang fasih berbahasa Indonesia karena pernah tinggal di Jakarta.Â
Mereka bertiga ditugaskan menghias bagian luar gereja. "Christmas in summer feels weird, ya?" Sarah membuka percakapan sambil menggantung wreath di pintu gereja. Mas Dab mengangguk.Â
Memang aneh merayakan Natal di tengah terik matahari, mengenakan kaos dan celana pendek alih-alih sweater hangat. Tapi justru keanehan ini yang membuat Natal pertamanya di Clayton terasa spesial.
Malam Natal, gereja penuh sesak. Mas Dab duduk di antara komunitas Indonesia yang sudah seperti keluarga sendiri - ada pak Budi dari program PhD Chemical Engineering, mbak Tari yang kerja part-time di Clayton Library, dan beberapa mahasiswa baru yang juga pertama kali merayakan Natal jauh dari rumah.
Father John, dengan logat Australia yang kental, memimpin misa dengan khidmat. Meski tidak semua kata-kata dalam homili tertangkap dengan jelas, mas Dab bisa menangkap esensi Natal yang universal - tentang harapan, kebersamaan, dan sukacita yang melampaui batasan bahasa dan budaya.
Walau bisa kuliah di Australia dengan skor IELTS lumayan, mas Dab ternyata mereka lebih 'suka' mendaraskan doa dalam bahasa Indonesia. Usai misa, komunitas gereja mengadakan Christmas supper sederhana di hall.Â
Ada Pak Budi yang membawa rendang hasil masakan istrinya, mbak Tari menyumbang brownies, berbaur dengan pavlova dan fruit cake dari jemaat lokal. Makanan bule, Indonesia, dan lainnya bercampur mewarnai Natal.
Di sudut ruangan, pohon Natal yang dihiasnya bersama Michael dan Sarah berdiri megah, menaungi berbagai hadiah dari program giving tree untuk anak-anak kurang mampu di Clayton.
Sister Margaret menghampiri meja Indonesia, membawa sekotak cookies buatannya. "This is my first time making nastar," katanya bangga, menunjukkan kue nastar yang bentuknya tidak terlalu sempurna tapi aromanya membangkitkan kenangan akan rumah.Â
Rupanya, dia belajar resep dari mbak Tari khusus untuk Natal tahun ini. Keakraban dan kehangatan orang-orang bule Australia dan orang Indonesia yang lama sudah tinggal di Clayton bisa mengurangi rasa kangen Natalan di Indonesia.
Malam itu, duduk di antara tawa dan obrolan multilingual, mas Dab merenungkan makna Natal yang baru. Clayton mungkin bukan Klaten yang sesungguhnya, tapi komunitas yang hangat ini telah membuatnya merasa seperti di rumah.Â
Bahasa Inggris dalam liturgi mungkin masih terasa asing, tapi bahasa kebersamaan dan persaudaraan ternyata universal.
Menjelang tengah malam, mas Dab berjalan pulang ke asrama mahasiswa, melewati deretan rumah yang dihias lampu-lampu Natal. Beberapa rumah dihiasi dekorasi Natal secara luar biasa. Tak cukup hanya kelap-kelip lampu kecil warna-warni, tapi ada hiasan Santa Klaus dan kawan-kawan.Â
Tahun 2002 belum ada hape Android yang pinter, apalagi dipersenjatai AI. Hape masih teramat tradisional.Â
Sepi dan gelap, tapi aman ditingkahi sinar bintang di langit menjadi pemandangan mengesankan. Jauh berbeda, tentu saja, dengan suasana Natal di sepanjang Swanston St. Melbourne dari Federal Square tepi sungai Yarra ke kawasan dekat kampus RMIT.
Kembali ke Clayton. Mas Dab berjingkat mencari posisi tepat memotret diri pakai kamera depan Nokia dengan resolusi ala kadarnya. Sambil tersenyum mematut diri agar pas fotonya.
Udara musim panas masih terasa hangat, sangat berbeda dengan Natal-Natal sebelumnya. Tapi di "Klaten"-nya Melbourne ini, dia menemukan makna Natal yang baru - tentang menemukan 'rumah' di tempat yang jauh, dan merayakan kebersamaan dalam perbedaan. Klaten-nya Melbourne memang nostalgik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H