Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Rendang di Amsterdam: Pricey, tapi tetap Priceless

22 Desember 2024   12:21 Diperbarui: 23 Desember 2024   12:21 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSYYCeNDM6BCHhTGwT2R3tNU0R-CWhrlsPZqQ&usqp=CAU

Musim gugur 2014, mas Dab dan rombongan tiba di Amsterdam setelah empat jam perjalanan kereta dari Praha. Dari stasiun, kami langsung menuju penginapan sekitar 20an menit naik tram.

Kunjungan ke Amsterdam ini menggambarkan bagaimana makanan (rendang) bisa menjadi jembatan penghubung dengan kampung halaman. Kunjungan kultural ini agak beda dengan nuansa akademik di Praha atau Bratislava.

Kota Amsterdam menyambut kami dengan kanal-kanal yang membelah jalanan, deretan sepeda yang terparkir rapi di setiap sudut, dan tram yang berkelok melewati bangunan-bangunan abad ke-17 yang menjulang.

Setelah check-in di hotel dekat Vondelpark, perut mas Dab mulai protes. Dua hari makan roti dan keju selama di Praha membuat lidahnya merindukan masakan Indonesia. 

Masakan Indonesia

Berbekal Google Maps dan tips dari resepsionis hotel yang pernah tinggal di Jakarta, mas Dab mengajak mbak Te dan dua rekan lainnya berburu masakan Indonesia.

Amsterdam ternyata menyimpan jejak kuliner kolonial yang kuat. Dari Vondelpark, mereka menyusuri kanal Prinsengracht dengan tram nomor 2, melewati rumah-rumah canal house yang berderet rapi dengan jendela-jendela besar khasnya. 

Sepanjang jalan, aroma wafel dan stroopwafel dari toko-toko traditional Dutch menggelitik hidung. Di Albert Cuyp Market, pasar tradisional terbesar di Amsterdam, mereka mampir mencicipi herring mentah yang dijual di food truck - makanan jalanan khas Belanda yang ternyata cukup menantang untuk lidah Indonesia. 

Mas Dab dan rombongan kemudian naik bis wisata double-decker yang membawa mereka berkeliling kota, melewati Museum District dengan Van Gogh Museum yang iconic, hingga kawasan Dam Square yang selalu ramai.

Setelah berfoto di depan tulisan "I Amsterdam" yang terkenal di depan Rijksmuseum, pencarian rendang dilanjutkan ke kawasan Nieuwmarkt. Di sini, aroma rempah-rempah mulai tercium dari beberapa restoran Asia yang berjajar di sepanjang jalan sempit yang berbatu.

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSYYCeNDM6BCHhTGwT2R3tNU0R-CWhrlsPZqQ&usqp=CAU
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSYYCeNDM6BCHhTGwT2R3tNU0R-CWhrlsPZqQ&usqp=CAU

Sampurna, sebuah restoran Indonesia yang berdiri sejak era 70-an, menjadi pemberhentian mereka (Gambar atas) Lokasinya strategis, tak jauh dari Central Station dan Red Light District yang kontroversial. 

Interior restorannya sederhana namun autentik, dengan lukisan-lukisan batik dan foto-foto tempo doeloe menghiasi dinding.

Menu ditempel di dinding, mayoritas makanan Indo-Chinese yang familiar: nasi goreng, bakmi goreng, dan tentu saja - rendang. Harganya memang bikin mata melotot. 

Sepiring nasi rendang dihargai lebih dari 10 euro, hampir empat kali lipat harga di Indonesia. Tapi di tengah dinginnya Amsterdam dan kerinduan akan masakan rumah, harga itu tak lagi jadi masalah.

Memang aneh pikiran orang ketika menyikapi harga-harga makanan itu. Padahal harga rendang itu tidaklah sebanding dengan 'marahnya' perut dan pengalaman perjalanan ke Eropa.

Di meja sebelah, rombongan bertemu pak Slamet, orang Padang yang sudah dua dekade menetap di Amsterdam dan membuka toko kelontong Indonesia di Javastraat. 

Beliau bercerita bagaimana rendang Sampurna yang asli. Dibanding tempat lainnya, rendang itu masih mempertahankan resep asli dengan rempah-rempah yang diimpor langsung dari Indonesia.

Sore itu, sambil menikmati rendang yang ternyata memang seenak reputasinya, mas Dab memandang ke luar jendela. Kanal-kanal Amsterdam berkilau keemasan ditimpa matahari senja. Ternyata ada juga rumah-rumah perahu di beberapa kanal. 

Sementara itu, deretan sepeda dan tram yang lewat menciptakan ritme kota yang khas. Suara tram itu memang mengingatkan nostalgia mas Dab dengan pesona Melbourne.

Para turis berseliweran dengan peta di tangan, bercampur dengan orang setempat yang mengayuh sepeda dengan santai. Beberapa kali berjalan kaki, mas Dab mendapat pengalaman mengesankan.

Orang Belanda, tepatnya orang Amsterdam, lebih ramah ketimbang orang Paris. Ketika bingung mencari jalan ke hotel, orang Amsterdam dengan sabar menjawab pertanyaan mas Dab. Beberapa bahkan menunjukman keinginan mengantar dengan jalan kaki juga.

Sebelum kembali ke hotel, rombongan mampir ke toko stroopwafel di dekat Dam Square, membeli oleh-oleh dan mencicipi wafel hangat yang diisi sirup karamel. Dari jendela toko, mereka bisa melihat Royal Palace yang megah dan Nueva Iglesia yang gothic, dua landmark yang menjadi saksi sejarah panjang Amsterdam.

Dua malam di Amsterdam menjadi penutup yang sempurna setelah presentasi paper di Praha. Rendang di Amsterdam berhasil mengobati rindu akan masakan rumah, meninggalkan kesan mendalam bagi mas Dab dan rombongan.

Besok pagi mereka akan kembali ke Jakarta, membawa pulang stroopwafel, foto-foto di depan tulisan I Amsterdam, dan cerita tentang petualangan mencari rendang di tengah kota kanal. 

Mungkin harganya memang lima kali lipat, tapi pengalaman menikmati masakan Indonesia di tengah eksotisme Amsterdam? Memang pricey, tapi tetep priceless lah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun