Sampurna, sebuah restoran Indonesia yang berdiri sejak era 70-an, menjadi pemberhentian mereka (Gambar atas) Lokasinya strategis, tak jauh dari Central Station dan Red Light District yang kontroversial.Â
Interior restorannya sederhana namun autentik, dengan lukisan-lukisan batik dan foto-foto tempo doeloe menghiasi dinding.
Menu ditempel di dinding, mayoritas makanan Indo-Chinese yang familiar: nasi goreng, bakmi goreng, dan tentu saja - rendang. Harganya memang bikin mata melotot.Â
Sepiring nasi rendang dihargai lebih dari 10 euro, hampir empat kali lipat harga di Indonesia. Tapi di tengah dinginnya Amsterdam dan kerinduan akan masakan rumah, harga itu tak lagi jadi masalah.
Memang aneh pikiran orang ketika menyikapi harga-harga makanan itu. Padahal harga rendang itu tidaklah sebanding dengan 'marahnya' perut dan pengalaman perjalanan ke Eropa.
Di meja sebelah, rombongan bertemu pak Slamet, orang Padang yang sudah dua dekade menetap di Amsterdam dan membuka toko kelontong Indonesia di Javastraat.Â
Beliau bercerita bagaimana rendang Sampurna yang asli. Dibanding tempat lainnya, rendang itu masih mempertahankan resep asli dengan rempah-rempah yang diimpor langsung dari Indonesia.
Sore itu, sambil menikmati rendang yang ternyata memang seenak reputasinya, mas Dab memandang ke luar jendela. Kanal-kanal Amsterdam berkilau keemasan ditimpa matahari senja. Ternyata ada juga rumah-rumah perahu di beberapa kanal.Â
Sementara itu, deretan sepeda dan tram yang lewat menciptakan ritme kota yang khas. Suara tram itu memang mengingatkan nostalgia mas Dab dengan pesona Melbourne.
Para turis berseliweran dengan peta di tangan, bercampur dengan orang setempat yang mengayuh sepeda dengan santai. Beberapa kali berjalan kaki, mas Dab mendapat pengalaman mengesankan.