Banyak pandangan bahwa Noam Chomsky melalui buku "Who Rules the World?" pada 2016 itu tidak hendak menjelaskan kenyataan bahwa dunia berada di ambang perubahan dramatis. Meski begitu, analisis Chomsky itu ternyata masih relevan dengan anatomi kekuasaan global ketika Donald Trump bakal kembali ke Gedung Putih pada 2025.
Bagi Chomsky, Amerika Serikat identik dengan "negara imperial" yang mendominasi tatanan dunia pasca-Perang Dunia II. Kecenderungan itu tampak pada kebijakan luar negeri AS selama beberapa dekade.Â
Chomsky menunjukkan bagaimana Washington secara konsisten mengejar agenda unilateralnya, mengabaikan hukum internasional, dan norma-norma diplomatik yang mereka klaim dijunjung tinggi.
Ramalan tentang menurunnya hegemoni AS ternyata akurat. Apalagi China muncul sebagai kekuatan ekonomi global, Rusia mqkin assertive di panggung internasional, dan kerjasama multipolar makin menguat menjadi bukti nyata.Â
Namun, yang menarik adalah kecenderungan tentang bagaimana Trump, dengan slogan "Make America Great Again," justru mempercepat proses berkurangnya pengaruh AS yang digambarkan Chomsky.
Selanjutnya, Chomsky mengkritik keras apa yang disebut sebagai "kegilaan nuklir," yaitu  kebijakan persenjataan dan deterrence, yang menurutnya, membawa dunia ke tepi jurang kehancuran. Kekhawatiran ini semakin relevan ketika AS memilih Trump pada pemilihan presiden 2024.Â
Retorika Trump yang sering provokatif terhadap Korea Utara dan Iran, serta sikapnya yang skeptis terhadap perjanjian pengendalian senjata internasional dianggap konsisten.
Analisis Chomsky tentang "kapitalisme predator" dan ketimpangan global menemukan momentumnya dengan konteks 2025. Trump yang menerapkan kebijakan ekonomi proteksionis  perang dagang dengan China, dan penolakan terhadap kesepakatan multilateral, seperti Paris Agreement mencerminkan apa yang Chomsky sebut sebagai "kepentingan pribadi yang membabi buta" dari elit global.
Melalui buku ini, Chomsky juga mengungkapkan fenomena "demokrasi defisit" di mana kekuatan korporasi dan elit finansial mendominasi proses politik. Di mata Chomsly, selain seorang miliarder yang menjadi presiden, Trump merupakan personifikasi sempurna dari kritiknya tentang plutokrasi Amerika.
Menurut Chomsky, konflik di Timur Tengah dan "perang melawan teror" tetap berlanjut dalam konteks 2025. Ketegangan dengan Iran, konflik Israel-Palestina yang tak kunjung usai, dan kompleksitas politik Timur Tengah masih menjadi tantangan besar bagi pemerintahan kedua Trump.