Tantangan diplomatik bertambah rumit dengan ancaman Presiden terpilih AS Donald Trump. Ancaman Trump terkait dengan pengenaan tarif 100 persen pada negara yang mengadopsi mata uang BRICS.Â
Situasi ini menempatkan Indonesia dalam dilema strategis: antara mengabaikan peluang kerjasama BRICS demi menghindari retaliasi AS, atau tetap maju dengan risiko konsekuensi ekonomi yang signifikan.
Penunjukan Sugiono sebagai Menlu juga menarik untuk dicermati. Pemilihan mantan ajudan dengan pengalaman diplomatik terbatas ini mengindikasikan preferensi Prabowo untuk mengendalikan langsung kebijakan luar negeri.Â
Kecenderungan itu mengingatkan pada pola kepemimpinan Prabowo semasa di militer yang terkenal dengan struktur komando paralel. Meskipun pendekatan ini dapat mempercepat pengambilan keputusan, ada risiko terabaikannya expertise korp diplomatik Indonesia yang telah teruji.
Tantangan terbesar dalam diplomasi Prabowo adalah menyeimbangkan ambisi global dengan realitas regional. Sebagai pemimpin informal ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kohesi kawasan, terutama dalam menghadapi dinamika di Laut China Selatan.Â
MoU dengan China, meskipun mungkin menguntungkan secara bilateral, telah memicu reaksi keras dari Filipina dan berpotensi melemahkan posisi kolektif ASEAN dalam negosiasi Code of Conduct.
Di tengah absennya respon ASEAN terhadap memanasnya potensi konflik di Laut China Selatan (LCS), beberapa negara merespon langsung tekanan militer China. Lalu, negara-negara lain (misalnya Malaysia dan Vietnam) bekerjasama memperkuat kemitraan pertahanan demi menghadapi provokasi China di LCS.
Politik luar negeri Indonesia di era Prabowo mencerminkan upaya mengkombinasikan pragmatisme ekonomi dengan ambisi geopolitik. Hal ini terlihat dari keinginan bergabung dengan BRICS sekaligus OECD - menunjukkan aspirasi untuk berperan di kedua kubu, baik negara berkembang maupun maju.Â
Namun, dalam konteks global yang semakin terpolarisasi, strategi "duduk di dua kursi" ini mungkin akan semakin sulit dipertahankan.
Lebih dari sekadar persoalan kebijakan, gaya kepemimpinan Prabowo dalam diplomasi mencerminkan transformasi yang lebih luas dalam postur Indonesia di panggung global. Ada dorongan kuat untuk melampaui batasan-batasan tradisional dan mengambil peran yang lebih proaktif dalam urusan internasional.Â
Namun, ambisi ini perlu diimbangi dengan kalkulasi strategis yang matang dan pemahaman mendalam tentang dinamika regional. Ke depan, efektivitas diplomasi Prabowo akan sangat bergantung pada kemampuannya menyeimbangkan berbagai kepentingan yang kompleks.Â