Pengetahuan semacam itu hanya bisa didapat dari seseorang yang telah tinggal di kota ini selama dua tahun. Terlalu banyak informasi yang harus diserap bagi pelancong dadakan macam mas Dab.
Mereka pun mampir ke Main Square. Di situ, ada air mancur Maximilian berdiri megah di tengah plaza yang dikelilingi bangunan baroque.Â
Mas Gondhes menunjuk patung tentara Napoleon yang duduk santai di bangku sudut alun-alun. Dia menceritakan legenda tentara Prancis yang jatuh cinta pada Bratislava dan memutuskan menetap di sini.
Perjalanan berlanjut ke Gereja Biru, masterpiece Art Nouveau yang terkenal dengan warna birunya yang mencolok. Mas Gondhes membawa mas Dab ke sudut-sudut tersembunyi Old Town yang jarang dikunjungi turis.Â
Mereka menyusuri gang-gang sempit dengan grafiti modern yang kontras dengan dinding tua. Café-café tampaknya dibangun di dalam gedung bekas era komunis. Sebuah kawasan wisata tak akan lengkap tanpa toko-toko vintage yang menjual poster-poster propaganda Soviet.
Di Grassalkovich Palace, sekarang istana presiden Slovakia, mereka bertemu sepasang turis Jerman. Kedengarannya mereka lagi bercakap soal sejarah perpecahan damai Czechoslovakia. Negara itu berpisah baik-baik menjadi Ceko dan Slovakia.
Mas Gondhes, dengan bahasa Jermannya yang fasih hasil kuliah di Bratislava, ikutan dalam diskusi itu. Temanya adalah posisi unik Bratislava sebagai satu-satunya ibukota di dunia yang berbatasan langsung dengan tiga negara, yaitu Ceko, Austria, dan Hungaria.
Dari teras Kastil Bratislava yang menjulang di atas bukit, mas Gondhes menunjukkan panorama kota. Mas Dab takjub.Â
Menara-menara gothic menyembul di antara atap merah Old Town. Sungai Danube tampak membelah kota, hingga perbatasan Austria yang terlihat di kejauhan. "Dulu waktu masih Czechoslovakia, kastil ini jadi saksi bisu Perang Dingin," jelasnya.
Waktunya ke Praha