Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menandai babak baru dalam politik luar negeri AS.
Dengan mengusung kembali slogan populisnya, “America First,” Trump 2.0 tampaknya akan menghidupkan kembali kebijakan unilateral yang berfokus pada kepentingan domestik, sembari mengguncang tatanan global yang telah mapan.
Meski begitu, pertanyaan menariknya: apakah pendekatan ini hanya akan memperkuat isolasionisme atau justru menciptakan dinamika baru dalam hubungan internasional?
Kebijakan “America First”
Selama masa jabatan pertamanya (2017–2021), Trump mengubah arah kebijakan luar negeri AS secara radikal. Trump memberi prioritas pada kepentingan ekonomi domestik dengan memberlakukan tarif tinggi terhadap mitra dagang utama, termasuk Uni Eropa dan Tiongkok.
Trump juga mengkritik keras aliansi multilateral, seperti NATO. Bagi Trump, NATO hanya menjadi “beban” bagi Amerika. Kebijakan ini didasarkan pada pandangan bahwa AS telah terlalu lama menjadi “bankir dunia” tanpa mendapatkan imbalan yang setimpal.
Sebaliknya, kebijakan Trump itu telah menuai kritik tajam. Di satu sisi, Trump berhasil menarik perhatian pada ketidakseimbangan perdagangan dan memperketat imigrasi. Di sisi lain, pendekatan agresifnya melemahkan hubungan transatlantik dan menciptakan ketidakpastian global.
G. John Ikenberry (2020), misalnya, menjelaskan pendekatan “America First” melemahkan legitimasi AS di panggung internasional. Kebijakan AS itu malah membuka jalan bagi negara lain, seperti Tiongkok, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan global.
Era Trump 2.0
Jika kebijakan luar negeri Trump pada masa lalu lebih berfokus pada perdagangan dan aliansi keamanan, periode kedua ini kemungkinan akan menonjolkan isu-isu geopolitik baru yang lebih kompleks.