Di tengah dinamika multipolaritas global yang semakin kompleks, Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto memutuskan untuk menunjukkan minat bergabung dengan BRICS melalui kehadiran Menlu Sugiono di KTT BRICS 2024 di Kazan, Rusia. Keputusan itu menjadi langkah diplomasi penting di awal pemerintahan Prabowo dalam merespons perkembangan internasional.
BRICS telah berkembang signifikan sejak pembentukannya. Pada 1 Januari 2024, BRICS resmi menerima lima anggota baru: Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab, menjadikan total anggotanya 10 negara.Â
Blok ini kini mewakili 36% dari GDP global dan 46% populasi dunia. New Development Bank (NDB) BRICS telah menyalurkan lebih dari $33 miliar untuk 96 proyek pembangunan di negara-negara anggota sejak 2015.
KTT BRICS Kazan 2024 menandai momentum penting dengan agenda utama memperkuat sistem pembayaran alternatif BRICS Pay dan mendorong de-dolarisasi dalam perdagangan internasional. Sistem ini telah memfasilitasi transaksi senilai $150 miliar antar negara anggota pada 2023, meningkat 45% dari tahun sebelumnya.
Keputusan Indonesia mendekati BRICS mencerminkan kalkulasi strategis yang rasional dalam konteks multipolaritas global pada saat ini. Dengan pertimbangan keuntungan ekonomi yang substansial dan pengaruh politik yang meningkat, langkah ini berpotensi memperkuat posisi Indonesia dalam tatanan global yang tengah berubah.
Bandwagoning for profit
Untuk mempelajari perilaku Indonesia itu, salah satu konsep menarik dalam studi Hubungan internasional adalah "bandwagoning for profit." Menurut Randall Schweller (2024), pendekatan ini menyoroti bagaimana negara-negara emerging power, seperti Indonesia, cenderung mengambil keputusan strategis berdasarkan kalkulasi keuntungan yang lebih besar dibanding risiko yang mungkin dihadapi.
Argumen Schweller (2024) adalah dalam sistem internasional kontemporer, negara-negara tidak lagi semata-mata melakukan balancing atau bandwagoning untuk keamanan, tetapi lebih didorong oleh prospek keuntungan ekonomi dan pengaruh politik. Indonesia, misalnya, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, melihat BRICS sebagai platform strategis untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya.
Dari perspektif ekonomi, bergabung dengan BRICS menawarkan sejumlah keuntungan substansial. Beberapa keuntungan struktural itu misalnya adalah akses ke New Development Bank (NDB) dan sistem pembayaran alternatif BRICS (Richardson, 2023).Â
Akses ini dapat memperkuat posisi tawar Indonesia dalam arsitektur keuangan global. Negara-negara emerging power perlu semakin aktif mencari alternatif terhadap institusi-institusi Bretton Woods yang didominasi Barat.
Lebih lanjut, keputusan bandwagoning seringkali didasari oleh kalkulasi jangka panjang tentang pergeseran kekuatan global. Dengan proyeksi bahwa negara-negara BRICS akan mendominasi pertumbuhan ekonomi global dalam dekade mendatang, keputusan Indonesia untuk mendekat ke blok ini mencerminkan strategic foresight yang tajam.
Dari sisi politik, status sebagai anggota BRICS dapat meningkatkan leverage Indonesia dalam forum-forum internasional. Posisi seperti itu seringkali dapat dikapitalisasi menjadi pengaruh politik di dalam sistem multipolar.
Risiko
Namun begitu, strategi bandwagoning for profit tetap mengandung risiko. Indonesia harus cermat menyeimbangkan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan tradisional seperti AS dan sekutunya. Indonesia perlu menjaga hubungan dengan mitra tradisional, seperti AS dan Jepang.
Risiko geopolitik juga dikawatirkan muncul. Ketegangan AS-China dan konflik Ukraina-Rusia mempengaruhi dinamika internal BRICS. Indonesia harus berhati-hati agar tidak terseret dalam polarisasi global.
Meski demikian, risiko diplomatik semacam itu relatif dapat dikelola selama negara mempertahankan fleksibilitas strategisnya. Keterlibatan sebuah negara dalam BRICS tidak harus berarti meninggalkan institusi-institusi yang ada, melainkan dapat menjadi complement yang memperkuat posisi tawar negara itu.
Dari perspektif domestik, keberhasilan strategi bandwagoning for profit juga bergantung pada kapasitas sebuah negara untuk mengkapitalisasi peluang yang ada. Indonesia di bawah Prabowo, dengan visi pembangunan ekonomi yang tampaknya ambisius, telah siap mengoptimalkan keuntungan dari keanggotaan BRICS.
Perbedaan sistem ekonomi dan regulasi antar-negara BRICS memerlukan penyesuaian kebijakan domestik Indonesia. Indonesia perlu mempertimbangkan penguatan kapasitas institusional domestik untuk mengoptimalkan kerjasama BRICS, termasuk, misalnya, pembentukan tim khusus di Kemlu dan Kemenkeu.
Di era state capitalism, keanggotaan dalam blok ekonomi-politik seperti BRICS dapat memberikan akses ke sumber daya dan pasar yang vital bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini semakin memperkuat rasionalitas di balik keputusan Indonesia.
Analisis biaya-manfaat menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, keuntungan dari diversifikasi aliansi ekonomi-politik cenderung melebihi risiko jangka pendek dari potential diplomatic fallout. Ini memperkuat argumen bahwa keputusan Indonesia mencerminkan kalkulasi strategis yang matang.
Oleh karena itu, minat Indonesia terhadap keanggotaan BRICS dapat dikatakan merepresentasikan manifestasi konkret dari strategi bandwagoning for profit dalam era multipolar. Keputusan ini mencerminkan kalkulasi rasional di mana potensi keuntungan ekonomi dan politik dinilai jauh melampaui risiko diplomatik yang mungkin timbul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H