Kunjungan pertama Presiden Prabowo Subianto ke luar negeri menandai arah baru politik luar negeri Indonesia. Dalam lawatannya ke Beijing yang dilanjutkan ke Washington DC, Prabowo menunjukkan pendekatan pragmatis dalam menghadapi dua kekuatan global - Amerika Serikat (AS) dan China.
Langkah ini mencerminkan pergeseran signifikan dari kebijakan pendahulunya, Joko Widodo. Meski menerima investasi infrastruktur besar dari Beijing, Jokowi cenderung mempertahankan posisi netral dalam isu-isu geopolitik.
Sebaliknya, Prabowo telah mengambil langkah berani dengan bergabung sebagai mitra BRICS. Kelompok ekonomi ini dipandang sebagai penyeimbang kekuatan Barat yang dipimpin AS.
Momentum kunjungan ini menarik karena bertepatan dengan masa transisi di Amerika Serikat menjelang pemerintahan Donald Trump yang akan dimulai Januari 2025. Hubungan personal antara kedua pemimpin bisa menjadi faktor penting.
Presiden terpilih Trump dikenal lebih mengedepankan hubungan pribadi dibanding kelembagaan dalam diplomasinya. Sejarah hubungan Prabowo-Trump memiliki dinamika tersendiri.
Konon, setelah bertahun-tahun ditolak visa AS karena masalah HAM pada era Clinton hingga Obama, larangan tersebut dicabut pada masa Trump pertama. Bahkan sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo diundang ke Washington oleh Menteri Pertahanan Mark Esper pada 2020.
Peluang penguatan hubungan AS-Indonesia terbuka lebar melalui jaringan koneksi bisnis. Tokoh-tokoh seperti Elon Musk dan Hary Tanoesoedibjo, yang dekat dengan Trump, bisa menjadi jembatan penting. Hary Tanoe sendiri telah menyatakan bahwa kemenangan Trump membawa "harapan positif bagi Indonesia" dan mendorong pemaksimalan hubungan ekonomi bilateral.
Sektor nikel menjadi salah satu fokus utama. Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia, Indonesia berambisi mengembangkan industri baterai kendaraan listrik. Upaya menarik investasi Tesla yang telah dirintis era Jokowi kemungkinan akan dilanjutkan Prabowo.
Namun tantangannya adalah industri nikel Indonesia yang didominasi investasi China dan terkendala isu lingkungan. Sementara itu, kedekatan Indonesia dengan China dan BRICS bisa menimbulkan kecurigaan Barat.
Meski begitu, satu faktor yang tetap mendekatkan Indonesia-AS adalah klaim teritorial China atas Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Kenyataan ini menjadi faktor mendasar bagi Indonesia, dan mungkin negara-negara lain, untuk  tidak sepenuhnya menerima China.