Hasil Pemilihan Umum 2024 telah mengantarkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029.Â
Kemenangan ini juga diikuti dengan terbentuknya koalisi besar partai pendukung pemerintah yang disebut Koalisi Indonesia Maju (KIM).Â
Hingga saat ini, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang belum bergabung dengan koalisi tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang peran PDIP sebagai partai oposisi tunggal dalam lima tahun ke depan.
Sinyal bergabungnya PDIP ke pemerintahan Prabowo-Gibran memang menguat hingga sebelum pemanggilan nama-nama calon anggota kabinet pemerintahan baru. Ketika nama-nama anggota kabinet sudah dipanggil dan diberi pembekalan, PDIP juga masih menyanggah masuk koalisi.
Beberapa nama figur dianggap dekat, tetapi tidak mewakili partai pemenang anggota legislatif itu. Padahal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Â pernah mengajak PDIP untuk bergabung dengan pemerintahan, dengan alasan tidak perlunya oposisi.Â
Peran oposisi dalam demokrasi sangatlah penting. Oposisi berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, pengawas jalannya pemerintahan, dan penyalur aspirasi masyarakat yang mungkin berbeda dengan kebijakan pemerintah.Â
Tanpa oposisi, pemerintahan berpotensi menjadi otoriter dan abai terhadap suara kritis masyarakat. PDIP, sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2024, memiliki posisi unik untuk menjadi oposisi yang kuat. Dengan perolehan suara sebesar 22,32% (KPU, 2024), PDIP memiliki basis dukungan yang signifikan dari masyarakat.Â
Hal ini memberikan legitimasi bagi PDIP untuk menjadi suara kritis terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski berat melawan koalisi besar yang dibentuk pemerintahan Prabowo-Gibran, PDIP dapat mengambil peran politiknya sebagai oposisi bersama kekuatan masyarakat sipil.Â
Peran signifikan politik PDIP sebagai oposisi sangat dibutuhkan rakyat dengan bergandengan tangan dengan kekuatan masyarakat sipil sebagai penyeimbang kekuatan politik di republik ini.