Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Keamanan ASEAN dalam Menghadapi Inisiatif Keamanan Global China

27 September 2024   22:49 Diperbarui: 27 September 2024   22:50 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ipdefenseforum.com/wp-content/uploads/2024/02/Global-Security-Initiative.jpg

Inisiatif Keamanan Global (Global Security Initiative/GSI) yang diusulkan oleh China telah menciptakan dilema keamanan yang kompleks bagi negara-negara anggota ASEAN (Kuik, 2022). Di satu sisi, inisiatif ini menawarkan peluang untuk kerja sama keamanan yang lebih erat dan potensi manfaat ekonomi. 

Di sisi lain, GSI juga menimbulkan kekhawatiran tentang dominasi China dan erosi kedaulatan negara-negara ASEAN (Acharya, 2023). Esai ini akan mengeksplorasi berbagai dimensi dilema ini dan implikasinya bagi keamanan regional.

Dilema Geopolitik

Salah satu aspek utama dari dilema keamanan yang dihadapi ASEAN adalah posisi geopolitiknya yang berada di antara China dan Amerika Serikat. GSI dapat dilihat sebagai upaya China untuk mengimbangi pengaruh AS di kawasan, menempatkan negara-negara ASEAN dalam posisi yang sulit (Shambaugh, 2020).

Dari perspektif realisme, negara-negara ASEAN menghadapi pilihan yang sulit antara bandwagoning dengan China atau balancing terhadapnya (Walt, 1987). Menerima GSI dapat dilihat sebagai bentuk bandwagoning, yang mungkin menguntungkan dalam jangka pendek tetapi berisiko meningkatkan ketergantungan pada China. 

Di sisi lain, menolak GSI secara tegas dapat memicu reaksi negatif dari China dan berpotensi meningkatkan ketegangan regional (Tan, 2021).

Contoh konkret dari dilema ini terlihat dalam kasus Vietnam. Seperti yang dicatat oleh Camba (2023), Vietnam telah meningkatkan belanja militernya sebagai respons terhadap aktivitas China di Laut China Selatan. 

Namun, pada saat yang sama, Vietnam juga harus mempertimbangkan hubungan ekonominya yang erat dengan China. Situasi serupa dihadapi oleh Filipina dan Indonesia, yang memiliki klaim tumpang tindih dengan China di Laut China Selatan tetapi juga bergantung pada investasi dan perdagangan China.

Dilema Ekonomi

Aspek ekonomi dari GSI menciptakan dilema tersendiri bagi negara-negara ASEAN. China telah mengaitkan GSI dengan inisiatif ekonominya yang lebih luas, seperti Belt and Road Initiative (BRI). Ini menciptakan situasi di mana negara-negara ASEAN harus menyeimbangkan kebutuhan pembangunan ekonomi mereka dengan pertimbangan keamanan.

Dari perspektif liberal, kerja sama ekonomi yang lebih erat dengan China melalui GSI dan BRI dapat meningkatkan interdependensi dan mengurangi risiko konflik (Keohane & Nye, 1977). Namun, realitas menunjukkan bahwa peningkatan ketergantungan ekonomi pada China juga dapat digunakan sebagai leverage dalam isu-isu keamanan dan teritorial (Goh, 2021).

Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di ASEAN, menghadapi dilema ini secara langsung. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan investasi China untuk proyek-proyek infrastruktur besarnya. Di sisi lain, Indonesia juga harus mempertahankan kedaulatannya di perairan Natuna yang berbatasan dengan klaim Nine-Dash Line China.

Dilema serupa dihadapi oleh Malaysia dan Filipina, yang telah menerima investasi besar dari China namun juga menghadapi tantangan teritorial di Laut China Selatan.

Dilema Strategis

GSI juga menciptakan dilema strategis bagi ASEAN sebagai organisasi. ASEAN telah lama menganut prinsip sentralitas ASEAN dan non-alignment dalam urusan keamanan regional (Acharya, 2014). GSI berpotensi mengganggu keseimbangan ini dengan mendorong polarisasi antara blok yang dipimpin China dan blok yang dipimpin AS.

Dari perspektif konstruktivis, GSI dapat dilihat sebagai upaya China untuk membentuk ulang norma dan identitas keamanan regional (Wendt, 1992). Ini menciptakan tantangan bagi ASEAN dalam mempertahankan narasinya sendiri tentang keamanan regional yang berpusat pada ASEAN.

Dilema ini terlihat dalam respons ASEAN terhadap GSI. Ada kekhawatiran bahwa GSI dapat memperburuk ketegangan di ASEAN dan melemahkan kohesi organisasi. Namun, ASEAN juga tidak dapat sepenuhnya menolak GSI tanpa risiko alienasi China.

Singapura, sebagai negara kecil yang sangat bergantung pada stabilitas regional, menghadapi dilema ini secara langsung. Singapura harus menyeimbangkan hubungannya dengan China dan AS, sambil tetap mempertahankan prinsip netralitas dan mendukung sentralitas ASEAN.

Implikasi

Menghadapi dilema-dilema ini, ASEAN perlu mengadopsi pendekatan yang hati-hati dan nuansa. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan meliputi:

1. Memperkuat solidaritas internal: Seperti yang disarankan oleh Natalegawa (2023), ASEAN perlu memprioritaskan konsultasi rutin dan meningkatkan mekanisme pembangunan konsensus. Ini akan memungkinkan ASEAN untuk menghadapi GSI dengan posisi yang lebih kuat dan terpadu.

2. Diversifikasi hubungan eksternal: ASEAN perlu terus memperkuat hubungannya dengan kekuatan-kekuatan lain seperti India, Jepang, dan Uni Eropa (Emmers, 2022). Ini akan membantu mengurangi ketergantungan pada China atau AS dan memberikan lebih banyak ruang manuver diplomatik.

3. Mempromosikan multilateralisme inklusif: ASEAN dapat berupaya untuk mengintegrasikan elemen-elemen positif dari GSI ke dalam kerangka keamanan regional yang ada, seperti ASEAN Regional Forum (ARF) atau East Asia Summit (EAS) (Chong & Leong, 2023). Ini akan memungkinkan ASEAN untuk mempertahankan sentralitasnya sambil tetap terbuka terhadap inisiatif baru.

4. Meningkatkan kapasitas keamanan kolektif: ASEAN perlu memperkuat mekanisme keamanan internalnya, seperti ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) dan ASEAN Defence Ministers' Meeting (ADMM) (Thayer, 2022). Ini akan membantu ASEAN mengatasi ancaman keamanan non-tradisional tanpa terlalu bergantung pada kekuatan eksternal.

5. Memperkuat diplomasi ekonomi: ASEAN perlu memperdalam integrasi ekonomi internalnya melalui ASEAN Economic Community (AEC) dan memperluas hubungan ekonomi dengan berbagai mitra (Tsjeng & Yean, 2023). Ini akan membantu mengurangi ketergantungan ekonomi pada satu negara dan meningkatkan daya tawar kolektif ASEAN.

Dilema keamanan yang dihadapi negara-negara ASEAN dalam menghadapi Inisiatif Keamanan Global China mencerminkan kompleksitas lanskap geopolitik kontemporer. ASEAN harus menavigasi antara peluang kerja sama yang ditawarkan oleh GSI dan risiko terhadap kedaulatan dan kohesi regionalnya. 

Pendekatan yang seimbang dan nuansa, yang mempertimbangkan aspek geopolitik, ekonomi, dan strategis, akan menjadi kunci bagi ASEAN dalam menghadapi tantangan ini. Dalam jangka panjang, kemampuan ASEAN untuk mempertahankan sentralitasnya dalam arsitektur keamanan regional akan sangat bergantung pada bagaimana organisasi ini mengelola dilema-dilema ini. 

Dengan memperkuat solidaritas internal, diversifikasi hubungan eksternal, dan meningkatkan kapasitas kolektifnya, ASEAN dapat memposisikan diri untuk menghadapi tantangan keamanan regional dengan lebih efektif, termasuk yang ditimbulkan oleh inisiatif seperti GSI.

Pada akhirnya, respon ASEAN terhadap GSI akan memiliki implikasi yang signifikan tidak hanya bagi keamanan regional, tetapi juga bagi peran ASEAN dalam tatanan global yang terus berevolusi. Keberhasilan ASEAN dalam menavigasi dilema ini akan menjadi penentu penting bagi stabilitas dan kemakmuran Asia Tenggara di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun