Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Asia Tenggara Masih Penting Bagi AS Setelah Biden?

21 September 2024   12:08 Diperbarui: 22 September 2024   07:27 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asia Tenggara telah lama menjadi wilayah penting dalam strategi geopolitik Amerika Serikat (AS). Dalam konteks geografis, kawasan ini menghubungkan Samudera Hindia dan Pasifik, menjadikannya jalur perdagangan vital bagi banyak negara, termasuk AS. 

Secara ekonomi, negara-negara ASEAN merupakan mitra dagang utama AS. Perdagangan negara-negara di kawasan ini secara individual lebih besar ketimbang di antara mereka di kawasan AsiaTenggara. 

Kepentingan strategis AS juga sangat signifikan di kawasan ini. Beberapa negara, seperti Filipina dan Singapura, menyediakan akses militer krusial bagi AS di kawasan Indo-Pasifik (Kuok, 2024). 

Namun, pengaruh AS di Asia Tenggara kini tengah menghadapi tantangan serius dari Tiongkok. Survei terbaru ISEAS-Yusof Ishak Institute menunjukkan untuk pertama kalinya mayoritas responden di ASEAN memilih Tiongkok sebagai negara yang harus mereka selaraskan jika terpaksa memilih antara AS atau Tiongkok (Kuok, 2024). 

Kenyataan ini mencerminkan memudarnya dukungan terhadap AS di kawasan yang dianggap kritis dalam persaingan strategis dengan Tiongkok. Apalagi kehadiran AS di kawasan semakin berkurang ketimbang pada masa Perang Dingin.

Beberapa faktor berkontribusi pada menurunnya pengaruh AS. Pertama, keterlibatan ekonomi Tiongkok yang masif melalui Belt and Road Initiative (BRI) dipandang positif oleh banyak negara ASEAN. 

Kedua, kebijakan AS terkait konflik Israel-Hamas dinilai bias dan menuai kritik keras terutama dari negara-negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia. 

Ketiga, persepsi bahwa AS terlalu konfrontatif terhadap Tiongkok menimbulkan kekhawatiran akan ketegangan yang merugikan kawasan (Kuok, 2024).

Di sisi lain, AS masih memiliki dukungan kuat di beberapa negara seperti Filipina, Vietnam dan Singapura. Hubungan pertahanan dengan Filipina juga mengalami penguatan signifikan di bawah pemerintahan Biden. 

Meski demikian, pengaruh AS di kawasan ini dapat dikatakan tengah merosot dibandingkan Tiongkok (Kuok, 2024). Apalagi, kita juga melihat kehadiran Uni Soviet di kawasan ini tidak bisa digantikan Rusia paska-Perang Dingin.

Melemahnya posisi AS di Asia Tenggara berpotensi menghambat pencapaian tujuan strategisnya di Indo-Pasifik. Tanpa dukungan kuat dari Sekutu dan mitra di kawasan, kemampuan AS untuk membendung pengaruh Tiongkok akan terbatas. 

Akibatnya, upaya AS mengimplementasikan strategi Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka menjadi semakin sulit (Kuok, 2024). AS tidak leluasa lagi memberikan insentif ekonomi atau pertahanan secara bersamaan kepada berbagai negara, seperti pada masa Perang Dingin.

Prospek ke Depan: Harris vs Trump

Jika Kamala Harris terpilih menjadi Presiden AS, kemungkinan besar akan melanjutkan pendekatan pemerintahan Biden terhadap Asia Tenggara. Harris diperkirakan akan mempertahankan fokus pada penguatan aliansi dan kemitraan di kawasan untuk mengimbangi Tiongkok. 

Namun, Harris mungkin akan lebih menekankan isu-isu seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan perubahan iklim yang berpotensi menimbulkan gesekan dengan beberapa pemerintah di Asia Tenggara (Parameswaran, 2023).

Di bidang ekonomi, Harris kemungkinan akan melanjutkan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) yang diinisiasi Biden. Namun, tanpa pembukaan akses pasar AS yang lebih luas, IPEF mungkin tetap kurang menarik dibandingkan inisiatif ekonomi Tiongkok bagi negara-negara ASEAN (Capri, 2023). Harris juga diperkirakan akan mempertahankan pendekatan multilateral melalui forum-forum regional seperti KTT AS-ASEAN.

Sementara itu, jika Donald Trump kembali menjadi Presiden, kemungkinan akan terjadi pergeseran signifikan dalam kebijakan AS terhadap Asia Tenggara. Trump diperkirakan akan menerapkan pendekatan yang lebih transaksional dan bilateral. 

Fokus Trump mungkin akan lebih pada keseimbangan perdagangan dan burden-sharing dalam aliansi pertahanan dibandingkan isu-isu seperti demokrasi atau HAM. Di bidang ekonomi, Trump kemungkinan akan membatalkan IPEF dan kembali menggunakan tarif sebagai instrumen kebijakan perdagangan. 

Prediksi ini berpotensi memperburuk hubungan ekonomi AS dengan negara-negara ASEAN. Trump juga diperkirakan akan bersikap lebih konfrontatif terhadap Tiongkok, yang dapat meningkatkan ketegangan di kawasan.

Pendekatan Trump yang cenderung unilateral dan tidak terlalu memperhatikan institusi multilateral seperti ASEAN juga dapat memperlemah posisi AS di kawasan. Negara-negara Asia Tenggara mungkin akan semakin condong ke arah Tiongkok jika merasa AS kurang berkomitmen terhadap kawasan.

Langkah ke Depan

Terlepas dari siapa yang terpilih menjadi Presiden AS berikutnya, beberapa langkah perlu diambil untuk memperkuat kembali pengaruh AS di Asia Tenggara:

Pertama, AS perlu meningkatkan keterlibatan ekonominya di kawasan. Tanpa inisiatif ekonomi yang menarik, AS akan sulit bersaing dengan Tiongkok dalam memperebutkan pengaruh. 

Kedua, AS harus lebih memperhatikan kepentingan dan sensitivitas negara-negara Asia Tenggara, terutama terkait isu-isu seperti konflik Israel-Hamas. 

Ketiga, AS perlu menghindari pendekatan yang terlalu konfrontatif terhadap Tiongkok yang dapat memaksa negara-negara ASEAN memilih pihak (Kuok, 2024).

Keempat, AS harus meningkatkan keterlibatan diplomatiknya di kawasan, termasuk melalui kunjungan tingkat tinggi yang lebih sering. 

Kelima, AS perlu lebih memperhatikan isu-isu yang menjadi prioritas negara-negara ASEAN seperti pembangunan infrastruktur dan kerja sama maritim. 

Terakhir, AS harus terus memperkuat kerja sama pertahanan dengan sekutu dan mitranya di kawasan (Parameswaran, 2023).

Dengan langkah-langkah tersebut, AS berpeluang untuk memperkuat kembali posisinya di Asia Tenggara. Namun hal ini akan membutuhkan komitmen jangka panjang dan pendekatan yang lebih seimbang terhadap kawasan yang semakin penting ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun