Era digital tanpa diduga telah mengubah lanskap demokrasi secara signifikan. Jalur-jalur baru bagi partisipasi publik dan diskursus politik dapat dilakukan secara digital di ruang-ruang siber.
Berbagai sosial media tiba-tiba berperan sebagai alat untuk mengekspresikan pandangan pribadi, tanpa melihat latar belakang dan pengalaman dalam politik.Â
Salah satu fenomena yang muncul dari perubahan ini adalah keberadaan influencer sebagai aktor demokrasi. Influencer berperan penting dalam membentuk opini publik dan memobilisasi aksi kolektif.Â
Esai ini mencoba mengeksplorasi peran influencer dalam konteks demokrasi digital. Fokus perhatian pada munculnya gerakan #KawalPutusanMK di Indonesia.
Influencer, yang didefinisikan sebagai individu dengan kemampuan untuk memengaruhi keputusan pembelian atau opini pengikut mereka melalui media sosial (Freberg et al., 2011), kini telah memperluas pengaruh mereka ke ranah politik.Â
Dalam konteks politik, influencer dapat memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, membingkai isu-isu, dan memobilisasi dukungan untuk berbagai tujuan politik.
Gerakan #KawalPutusanMK di Indonesia menjadi contoh menarik tentang bagaimana influencer dapat berkontribusi pada proses demokrasi digital. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pemilu, khususnya pilkada mendatang.Â
Melalui hashtag #KawalPutusanMK, para aktivis digital dan influencer berkolaborasi untuk mengawasi dan menganalisis putusan MK, serta menyebarkan informasi kepada publik.
Gerakan semacam ini mencerminkan "bentuk baru aktivisme digital yang menggabungkan keahlian teknologi dengan kesadaran politik" (Lim, 2017). Influencer, dengan basis pengikut yang luas dan kemampuan mereka untuk menyederhanakan informasi kompleks, menjadi aktor kunci dalam menyebarkan pemahaman tentang proses hukum yang rumit kepada audiens yang lebih luas.