Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menyibak Peran ASEAN dalam Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan

28 Agustus 2024   23:21 Diperbarui: 29 Agustus 2024   07:42 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laut China Selatan, dengan perairan birunya yang membentang luas, telah menjadi panggung drama geopolitik yang semakin memanas di kawasan Asia Tenggara. Sengketa teritorial yang melibatkan China dan beberapa negara anggota ASEAN - Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. 

Sengketa itu tidak melulu menyangkut kedaulatan atas pulau-pulau dan terumbu karang, tetapi juga kontrol atas sumber daya alam yang melimpah dan jalur pelayaran kritis bagi perdagangan global. 

Di tengah pusaran konflik ini, ASEAN sebagai organisasi regional menemukan dirinya dalam posisi yang semakin dilematis dan diuji. Eskalasi ketegangan dan militarisasi di wilayah ini telah memicu apa yang disebut realis sebagai "dilema keamanan". 

Pembangunan pulau-pulau buatan dan peningkatan kehadiran militer oleh China telah mendorong negara-negara ASEAN dan Amerika Serikat untuk meningkatkan kapabilitas militer mereka sendiri. Perkembangam ini tidak dapat dielakkan telah menciptakan spiral ketidakamanan yang sulit diputus.

Perspektif realisme dalam hubungan internasional memberikan lensa yang tajam untuk memahami dinamika konflik ini. Dalam sistem internasional yang anarkis, di mana tidak ada otoritas yang lebih tinggi, negara-negara cenderung memprioritaskan keamanan nasional dan kepentingan diri sendiri. 

China, dengan kekuatan ekonomi dan militer yang terus berkembang, mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan berdasarkan "garis sembilan-dash". Tindakan ini dapat dipahami sebagai upaya untuk memaksimalkan kekuasaan dan pengaruhnya di kawasan, sejalan dengan prinsip-prinsip realisme. Di tengah situasi yang semakin memanas ini, ASEAN berupaya memainkan peran sebagai mediator. 

Namun, efektivitas peran tersebut semakin dipertanyakan mengingat lambatnya kemajuan dalam penyelesaian sengketa dan berlanjutnya tindakan-tindakan provokatif di lapangan. 

ASEAN telah melakukan berbagai upaya, mulai dari memfasilitasi dialog melalui forum-forum regional, mengembangkan Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak (DoC), hingga negosiasi berkelanjutan untuk Code of Conduct (CoC) yang lebih mengikat secara hukum.

Meskipun demikian, ASEAN menghadapi berbagai tantangan dalam upayanya menengahi konflik ini. Perbedaan kepentingan dan posisi tawar di antara negara-negara anggota ASEAN sendiri mempersulit pencapaian konsensus. 

Dokumentasi Forbes
Dokumentasi Forbes

Keterbatasan kapasitas ASEAN dalam menghadapi kekuatan besar seperti China, serta prinsip non-interferensi yang terkadang membatasi kemampuan organisasi untuk mengambil tindakan tegas, semakin memperumit situasi.

Insiden terbaru yang melibatkan Filipina semakin menyoroti keterbatasan peran ASEAN. Dalam beberapa hari terakhir, Filipina menghadapi serangkaian tindakan provokatif dari China di wilayah yang disengketakan. Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya diplomatik ASEAN, China tetap melanjutkan tindakan-tindakan unilateral yang meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut.

Dari kacamata realisme, keterbatasan ASEAN dalam menengahi konflik ini dapat dipahami sebagai refleksi dari struktur kekuasaan yang lebih luas di kawasan. Perbedaan kapabilitas yang signifikan antara China dan negara-negara ASEAN, serta keterlibatan Amerika Serikat sebagai kekuatan penyeimbang, menciptakan dinamika kompleks yang sulit diatasi oleh ASEAN sendiri.

Namun, di tengah berbagai tantangan ini, peran ASEAN tetap penting sebagai platform untuk dialog dan negosiasi. Kemampuan organisasi ini untuk terus memfasilitasi diskusi dan mencegah eskalasi konflik terbuka merupakan kontribusi signifikan terhadap stabilitas regional. Untuk menjadi lebih efektif dalam mediasi konflik Laut China Selatan, ASEAN perlu melakukan beberapa langkah strategis.

Pertama, memperkuat kohesi internal dan mencapai konsensus yang lebih kuat di antara negara-negara anggota. 

Kedua, meningkatkan kapasitas diplomatik dan kemampuan negosiasi kolektif. 

Ketiga, mengembangkan mekanisme yang lebih efektif untuk menangani pelanggaran terhadap perjanjian yang ada. 

Keempat, mempercepat finalisasi Code of Conduct yang mengikat secara hukum. Dan kelima, meningkatkan kerja sama dengan kekuatan eksternal tanpa mengorbankan prinsip "ASEAN Centrality".

Ke depan, penyelesaian sengketa Laut China Selatan kemungkinan akan sangat dipengaruhi oleh pergeseran keseimbangan kekuatan di kawasan. Jika China terus tumbuh sebagai kekuatan dominan di Asia, negara ini mungkin akan semakin asertif dalam menegakkan klaimnya. 

Di sisi lain, penguatan aliansi antara AS dan negara-negara Asia Tenggara dapat menciptakan keseimbangan kekuatan yang lebih stabil. Dalam konteks ini, ASEAN harus terus beradaptasi dan memperkuat perannya sebagai mediator dan fasilitator dialog. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, ASEAN tetap memiliki potensi untuk berkontribusi secara signifikan terhadap pengelolaan dan penyelesaian damai sengketa Laut China Selatan. 

Namun, hal ini akan membutuhkan komitmen yang lebih kuat dari semua pihak yang terlibat, termasuk China dan kekuatan eksternal lainnya, untuk menghormati proses yang dipimpin ASEAN dan bekerja menuju solusi yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.

Sengketa Laut China Selatan bukan hanya tentang batas-batas teritorial atau sumber daya alam. Ini adalah ujian bagi arsitektur keamanan regional dan kemampuan kawasan untuk mengelola konflik di era persaingan kekuatan besar. ASEAN, dengan segala keterbatasannya, tetap menjadi harapan terbaik untuk menjembatani perbedaan dan mencari solusi diplomatik.

Namun, untuk berhasil, ASEAN harus berani melakukan introspeksi dan pembaruan. Organisasi ini perlu menemukan keseimbangan yang tepat antara prinsip non-interferensi dan kebutuhan untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap tindakan-tindakan yang mengancam stabilitas regional. 

ASEAN juga harus memperkuat mekanisme pengambilan keputusannya dan meningkatkan kapasitasnya untuk implementasi dan penegakan kesepakatan.

Pada akhirnya, masa depan Laut China Selatan dan peran ASEAN di dalamnya akan ditentukan oleh kemampuan semua pihak untuk mengedepankan diplomasi di atas konfrontasi, dialog di atas provokasi, dan kepentingan bersama di atas ambisi sepihak. 

Di tengah gelombang konflik yang terus bergejolak, ASEAN harus terus berupaya menjadi pelampung stabilitas, menjembatani perbedaan, dan mengarahkan kawasan menuju perairan yang lebih tenang dan damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun