Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

#KawalPutusanMK dalam Pertarungan Wacana Politik Indonesia 2024

23 Agustus 2024   11:50 Diperbarui: 24 Agustus 2024   05:42 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena viralnya tagar #KawalPutusanMK di platform media sosial X (sebelumnya Twitter) merupakan manifestasi kontemporer dari pertarungan wacana dalam ruang publik digital Indonesia. 

Tagar ini muncul sebagai respons terhadap upaya Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk merevisi Undang-Undang Pilkada, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah. 

Lalu, bagaimana memahami viralnya tagar itu dalam carut-marut politik menjelang transisi 2024? 

Dalam perspektif teori wacana Ernesto Laclau, fenomena ini dapat dianalisis sebagai sebuah artikulasi hegemonik yang berusaha menetapkan makna dominan dalam ruang sosial yang selalu kontingen dan terbuka.

https://jabarekspres.com/wp-content/uploads/2024/08/GVcgCHgaMAgMZz5.jpg
https://jabarekspres.com/wp-content/uploads/2024/08/GVcgCHgaMAgMZz5.jpg

Pentingnya konteks
Untuk memahami signifikansi #KawalPutusanMK, kita perlu melihat konteks politik Indonesia sejak pemilihan presiden (pilpres) 2024. Pilpres 2024 yang dimenangkan oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah mengubah lanskap politik Indonesia. 

Kemenangan ini tidak lepas dari kontroversi, terutama terkait putusan MK yang memperbolehkan Gibran, putra Presiden Joko Widodo, untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden meskipun belum memenuhi syarat usia minimal.

Pasca pemilu, dinamika politik semakin memanas dengan munculnya berbagai isu sensitif, termasuk wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan upaya revisi berbagai undang-undang krusial. Situasi ini memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil akan potensi kemunduran demokrasi di Indonesia.

Dalam konteks inilah #KawalPutusanMK menjadi titik nodal (nodal point) yang mengartikulasikan berbagai tuntutan dan identitas politik yang berbeda ke dalam rantai ekuivalensi (chain of equivalence). 

Tagar ini berfungsi sebagai penanda kosong (empty signifier) yang mampu mewadahi beragam aspirasi masyarakat, mulai dari penegakan supremasi hukum, perlindungan demokrasi, hingga kritik terhadap oligarki politik.

Antagonisme 
Pertarungan wacana yang terjadi di seputar #KawalPutusanMK mencerminkan antagonisme sosial yang mendasar dalam masyarakat Indonesia kontemporer. Di satu sisi, ada kelompok yang memposisikan diri sebagai pembela demokrasi dan supremasi hukum, yang diwakili oleh pendukung tagar ini. 

Di sisi lain, ada kelompok yang dianggap sebagai representasi dari kepentingan elit politik yang ingin mempertahankan status quo. Antagonisme ini membentuk frontier politik yang membelah ruang sosial menjadi dua kubu yang saling berhadapan.

Dua kubu itu sebenarnya juga mencerminkan perbedaan hasil pemilu 2024. Yang menarik adalah bahwa dari pemilu 2024 juga memilih anggota legislatif/pileg (anggota MPR, DPRRI, DPR tingkat Provinsi/DPRD I, dan DPR tingkat Kabupaten/DPRD II). 

Perbedaan itu tampak pada pemenang pileg adalah PDI-P. Sedangkan, pemenang pilpres, yaitu pasangan koalisi Partai Gerindra dan kawan-kawan. Tak bisa diabaikan bahwa viralnya tagar #KawalPutusanMK adalah cerminan pertarungan wacana sejak hasil pemilu 2024 diumumkan.

Dalam logika perbedaan (logic of difference) Laclau, #KawalPutusanMK itu mencatatkan beberapa capaian menarik. Capaian pertama, tagar itu berhasil mengartikulasikan berbagai tuntutan partikular ke dalam sebuah wacana universal tentang perlindungan demokrasi. 

Kedua, tagar ini menjadi wahana bagi berbagai kelompok masyarakat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap apa yang dianggap sebagai upaya sistematis untuk melemahkan institusi demokrasi. 

Menariknya, #KawalPutusanMK tidak hanya menjadi sebuah tagar, tetapi berkembang menjadi momen (moment) dalam struktur diskursif yang lebih luas tentang masa depan demokrasi Indonesia.

Aktivisme online
Viralnya #KawalPutusanMK juga menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi arena penting dalam pembentukan opini publik dan mobilisasi politik. Platform seperti X menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perdebatan publik dan mempengaruhi agenda politik nasional. 

Dalam konteks ini, #KawalPutusanMK menjadi apa yang Laclau sebut sebagai mitos sosial. Maksudnya adalah prinsip pembacaan dari situasi yang diberikan, yang mampu mengorganisir suatu ruang representasi baru.

Fenomena #KawalPutusanMK juga merefleksikan apa yang Laclau sebut sebagai logika ekuivalensi (logic of equivalence). Berbagai kelompok dan individu dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda disatukan dalam oposisi terhadap apa yang dianggap sebagai ancaman bersama terhadap demokrasi. 

Dalam proses ini, perbedaan-perbedaan di antara mereka untuk sementara dikesampingkan demi membangun front bersama yang lebih luas.

Sebagai sebuah fenomena aktivisme online, viralnya #KawalPutusanMK juga menunjukkan bagaimana wacana dapat bergerak dari ruang fisik (offline) ke digital (online atau cyberspace). Gundahnya masyarakat terhadap realitas politik ditransfer ke ruang digital dalam bentuk tagar itu.

Lalu, ada juga interaksi online di dalam ruang digital #KawalPutusanMK mengungkapkan jaringan sosial-politik di antara aktor-aktor yang bertarung dalam berbagai wacana. Social network analysis (SNA) dapat memperlihatkan kluster atau kelompok-kelompok akun-akun pendukung dan penolakan tagar itu.

Aktivisme online juga tampak pada interaksi dari ruang digital ke ruang fisik. Tagar yang awalnya muncul di media sosial itu telah menginspirasi aksi-aksi nyata, seperti demonstrasi dan pernyataan sikap dari berbagai elemen masyarakat. 

Pada gilirannya, ketiga aktivisme online itu menunjukkan bagaimana artikulasi wacana dalam ruang digital dapat memiliki dampak riil dalam dunia politik offline.

Dalam perspektif Laclau, #KawalPutusanMK dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan apa yang ia sebut sebagai "universalitas hegemonik". Tagar ini berusaha mempresentasikan kepentingan partikular (dalam hal ini, perlindungan terhadap putusan MK) sebagai kepentingan universal seluruh masyarakat. 

Namun, seperti yang Laclau tekankan, universalitas semacam ini selalu bersifat kontingen dan tidak pernah dapat sepenuhnya terwujud. Kalaupun wacana #kawalputusanmk mencapai titik hegemonik, Laclau juga mengajarkan bahwa dominasi wacana yang hegemonik itu ternyata tidak menghilangkan wacana-wacana lain yang ikut berkontestasi.

Penting juga untuk mencatat bahwa #KawalPutusanMK muncul dan menjadi catatan penting dalam konteks sejarah politik Indonesia yang lebih luas. Tagar ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari berbagai gerakan sosial-politik sebelumnya yang menggunakan media sosial sebagai alat mobilisasi, seperti #SaveKPK atau #ReformasiDikorupsi. 

Dalam kerangka Laclau, perkembangan itu menunjukkan bagaimana artikulasi wacana selalu terhubung dengan sejarah perjuangan hegemonik sebelumnya.

Namun, seperti yang selalu ditekankan Laclau, setiap artikulasi hegemonik selalu menghadapi batas-batas dan kontradiksinya sendiri. #KawalPutusanMK, meskipun berhasil memobilisasi dukungan luas, juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan momentumnya dan mentransformasi energi di media sosial menjadi perubahan politik yang konkret.

Dalam konteks yang lebih luas, fenomena #KawalPutusanMK menunjukkan bagaimana ruang publik digital telah menjadi arena penting dalam pembentukan identitas politik dan artikulasi tuntutan demokratis di Indonesia. 

Tagar itu merefleksikan pergeseran dalam cara masyarakat berpartisipasi dalam proses politik dan bagaimana teknologi digital telah mengubah dinamika kekuasaan antara masyarakat sipil dan elit politik.

Pertarungan wacana ini mencerminkan dinamika demokrasi Indonesia yang terus berevolusi di era digital. Di satu sisi, ia menunjukkan vitalitas masyarakat sipil dan kemampuan mereka untuk mengorganisir diri secara efektif melalui platform digital. 

Di sisi lain, ia juga mengungkapkan tantangan-tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia, termasuk polarisasi politik yang semakin tajam dan potensi manipulasi opini publik melalui media sosial.

Menjelang transisi kekuasaan, #KawalPutusanMK bisa menjadi barometer penting bagi kesehatan demokrasi Indonesia. Ia memang menggambarkan ketegangan antara aspirasi masyarakat untuk memperkuat institusi demokrasi dan kecenderungan elit politik untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan mereka. 

Sejauh mana pertarungan wacana ini akan berkembang dan mempengaruhi lanskap politik Indonesia pasca 20 Oktober 2024 akan menjadi indikator penting bagi arah demokrasi di negara ini dalam lima tahun ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun