AntagonismeÂ
Pertarungan wacana yang terjadi di seputar #KawalPutusanMK mencerminkan antagonisme sosial yang mendasar dalam masyarakat Indonesia kontemporer. Di satu sisi, ada kelompok yang memposisikan diri sebagai pembela demokrasi dan supremasi hukum, yang diwakili oleh pendukung tagar ini.Â
Di sisi lain, ada kelompok yang dianggap sebagai representasi dari kepentingan elit politik yang ingin mempertahankan status quo. Antagonisme ini membentuk frontier politik yang membelah ruang sosial menjadi dua kubu yang saling berhadapan.
Dua kubu itu sebenarnya juga mencerminkan perbedaan hasil pemilu 2024. Yang menarik adalah bahwa dari pemilu 2024 juga memilih anggota legislatif/pileg (anggota MPR, DPRRI, DPR tingkat Provinsi/DPRD I, dan DPR tingkat Kabupaten/DPRD II).Â
Perbedaan itu tampak pada pemenang pileg adalah PDI-P. Sedangkan, pemenang pilpres, yaitu pasangan koalisi Partai Gerindra dan kawan-kawan. Tak bisa diabaikan bahwa viralnya tagar #KawalPutusanMK adalah cerminan pertarungan wacana sejak hasil pemilu 2024 diumumkan.
Dalam logika perbedaan (logic of difference) Laclau, #KawalPutusanMK itu mencatatkan beberapa capaian menarik. Capaian pertama, tagar itu berhasil mengartikulasikan berbagai tuntutan partikular ke dalam sebuah wacana universal tentang perlindungan demokrasi.Â
Kedua, tagar ini menjadi wahana bagi berbagai kelompok masyarakat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap apa yang dianggap sebagai upaya sistematis untuk melemahkan institusi demokrasi.Â
Menariknya, #KawalPutusanMK tidak hanya menjadi sebuah tagar, tetapi berkembang menjadi momen (moment) dalam struktur diskursif yang lebih luas tentang masa depan demokrasi Indonesia.
Aktivisme online
Viralnya #KawalPutusanMK juga menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi arena penting dalam pembentukan opini publik dan mobilisasi politik. Platform seperti X menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perdebatan publik dan mempengaruhi agenda politik nasional.Â
Dalam konteks ini, #KawalPutusanMK menjadi apa yang Laclau sebut sebagai mitos sosial. Maksudnya adalah prinsip pembacaan dari situasi yang diberikan, yang mampu mengorganisir suatu ruang representasi baru.
Fenomena #KawalPutusanMK juga merefleksikan apa yang Laclau sebut sebagai logika ekuivalensi (logic of equivalence). Berbagai kelompok dan individu dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda disatukan dalam oposisi terhadap apa yang dianggap sebagai ancaman bersama terhadap demokrasi.Â
Dalam proses ini, perbedaan-perbedaan di antara mereka untuk sementara dikesampingkan demi membangun front bersama yang lebih luas.