Masih dalam momentum perayaan ke-57 tahun ASEAN, organisasi regional di Asia Tenggara ini tampaknya belum mampu mengatasi kebuntuan dalam penyelesaian krisis Myanmar. Sejak kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021, ASEAN sebenarnya telah merespon secara terukur dan bijak.Â
Terukur dalam pengertian bahwa ASEAN telah membentuk skema regional seperti 5 Poin Konsensus. Lalu, bijak dalam artian respon ASEAN itu juga bentuk negosiasi antara perbedaan internal di antara negara-negara anggotanya dengan kecenderungan demokratisasi global.Â
Salah satu kecenderungan itu adalah keberadaan sebuah pemerintahan yang dibentuk secara demokratis melalui sebuah pemilihan umum. Krisis Myanmar sebagai akibat dari kudeta militer tentunya berlawanan dengan kecenderungan global itu.
Keberlanjutan krisis Myanmar hingga 2024 tentu saja merupakan sebuah keprihatinan bersama. Kebuntuan yang dialami ASEAN dalam menangani situasi di Myanmar mencerminkan permasalahan yang lebih mendasar terkait kohesivitas regional di antara negara-negara anggotanya.Â
Esai ini akan menganalisis bagaimana rendahnya kohesivitas regional di ASEAN telah berkontribusi pada ketidakmampuan organisasi ini dalam mendorong penyelesaian krisis Myanmar.
Krisis Myanmar
Kudeta militer di Myanmar pada 2021 telah mengakibatkan krisis berkepanjangan. Beberapa indikator krisis itu meliputi kekerasan pemerintaham junta militer, Â pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidakstabilan politik (International Crisis Group, 2023).Â
ASEAN, sebagai organisasi regional utama di Asia Tenggara, telah berupaya untuk memediasi konflik ini melalui berbagai inisiatif, termasuk Konsensus Lima Poin yang disepakati pada April 2021.
Namun, hingga tahun 2024, kemajuan dalam implementasi konsensus tersebut sangat terbatas, dan situasi di Myanmar tetap rentan terhadap kekerasan, baik fisik maupun struktural. Pemerintahan militer melakukan banyak kekerasan fisik, seperti penangkapan dan penembakan kepada penduduk. Di tingkat struktural, junta militer menunda pelaksanaan pemilihan umum beberapa kali.
Beberapa peneliti dalam studi ASEAN menjelaskan penyebab kebuntuan itu. Chong (2022), misalnya, menelisik bahwa kegagalan ASEAN dalam menyelesaikan krisis Myanmar mencerminkan keterbatasan struktural organisasi ini. Penyebabnya adalah prinsip non-intervensi dan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus.Â