Jones dan Hameiri (2022) mengamati bahwa respons ASEAN terhadap krisis Myanmar menunjukkan keterbatasan pendekatan 'jalan ASEAN' yang berbasis konsensus.
Kritik ini menyoroti dilema ASEAN dalam menyeimbangkan prinsip non-intervensi dengan kebutuhan untuk merespons krisis secara efektif.
Kritik lain juga menyasar pada kurang tegasnya ASEAN dalam menghadapi kekuatan besar, seperti China dan Amerika Serikat. Ba (2019), misalnya, mengungkapkan bahwa strategi ASEAN untuk melibatkan kekuatan besar sambil menjaga otonominya telah menjadi semakin sulit di tengah persaingan Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin intensif.
Ada usulan untuk memanfaatkan AS dalam menghadapi China, tetapi tentu saja usulan itu mengandung risiko yang signifikan.
Goh (2007) memperingatkan bahwa strategi semacam itu dapat menempatkan negara-negara Asia Tenggara dalam posisi yang rentan jika terjadi konfrontasi langsung antara kekuatan besar.
Filipina menjadi contoh nyata dalam menggunakan kedekatannya dengan AS untuk menghalau provokasi militer China di Laut China Selatan. Sedangkan, negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar memiliki kedekatan tradisional dengan China, sehingga strategi menggunakan AS akan beresiko.
Pendekatan ASEAN yang mengedepankan konsensus dan non-intervensi memang sering dikritik sebagai lambat dan kurang efektif. Namun, Narine (2018) menilai prinsip-prinsip ini telah memungkinkan ASEAN untuk menjembatani perbedaan ideologis dan sistem politik di antara anggotanya.
Pendekatan ini, meskipun tidak sempurna, telah berkontribusi pada stabilitas jangka panjang di kawasan.
Tantangan ASEAN dalam menghadapi agresivitas China di Laut China Selatan memang signifikan. Storey (2020) mengamati ketidakmampuan ASEAN untuk menghasilkan respons bersama yang kuat terhadap tindakan China telah melemahkan kredibilitas organisasi. Dia menunjukkan perlunya ASEAN untuk memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa dan respons kolektifnya.
Mekanisme penyelesaian kolektif itu menjadi sangat mendesak mengingat ke-10 negara anggota ASEAN memiliki karakteristik berbeda. Apalagi kenyataan itu ditambah dengan kedekatan bilateral masing-masing negara anggota itu kepada AS dan China.
Membandingkan ASEAN dengan Uni Eropa (UE) memang bisa memberikan perspektif, tetapi perlu mempertimbangkan konteks yang berbeda. Perbedaan sejarah, budaya, dan tingkat pembangunan ekonomi antara Asia Tenggara dan Eropa membuat perbandingan langsung menjadi problematik.