Belum lagi tantangan dari "pemain lama" seperti AS dan Israel, yang mungkin merasa terusik dengan kehadiran China di "halaman belakang" mereka. AS selama ini menjadi mediator utama dalam konflik Israel-Palestina.Â
Dengan peran itu, AS tentu memandang keterlibatan China dengan sinis dan skeptis. Sementara Israel, yang memiliki hubungan kompleks dengan China, juga harus berhati-hati dalam menyikapi peran baru Beijing ini.
Meski begitu, China tetap gigih. Mereka bahkan mengajak negara-negara tetangga seperti Mesir dan Arab Saudi untuk bergabung dalam misi perdamaian ini.
China berusaha mengatur gerakan semua pihak agar tercipta harmoni yang indah di Timur Tengah. Pada tahun 2019, misalnya, China mengadakan konferensi internasional tentang Palestina di Beijing, yang dihadiri oleh perwakilan dari berbagai negara Arab dan organisasi internasional (Xinhua, 2019).
Pendekatan China yang lebih inklusif dan tidak memihak ini mendapat sambutan positif dari banyak pihak di Timur Tengah. Berbeda dengan AS yang sering dianggap bias pro-Israel, China mampu memposisikan diri sebagai mediator yang lebih netral dan dapat diterima oleh semua pihak.
Posisi strategis ini memberi China keunggulan diplomatik yang signifikan dalam upaya perdamaian di kawasan ini. China juga mampu memanfaatkan soft power-nya untuk memenangkan hati rakyat Palestina.
Melalui program pertukaran budaya, beasiswa pendidikan, dan bantuan teknis dalam berbagai bidang, China berhasil membangun citra positif di kalangan masyarakat Palestina (Burton, 2020). Strategi ini tidak hanya membantu China dalam upaya mediasinya, tetapi juga memperkuat pengaruh jangka panjangnya di kawasan.
Namun, tantangan terbesar bagi China mungkin bukan dari luar, melainkan dari dalam. Sebagai negara yang juga menghadapi isu-isu HAM dan separatisme di dalam negeri, China harus berhati-hati agar keterlibatannya dalam konflik Palestina tidak menjadi bumerang bagi kebijakan domestiknya.
Kritik terhadap perlakuan China terhadap minoritas Uighur di Xinjiang, misalnya, bisa mengurangi kredibilitasnya sebagai mediator di Timur Tengah.
Apakah China akan berhasil? Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal sudah pasti: kehadiran China telah mengubah dinamika konflik Palestina-Israel.
China bukan lagi sekadar penonton, tapi telah menjadi aktor utama dalam perdamaian yang mustahil antara dua kelompok itu. Terlepas dari hasilnya, upaya China untuk mendamaikan Hamas dan Fatah telah membuka babak baru dalam geopolitik Timur Tengah.