Pada tahun 2017, misalnya, China berhasil memfasilitasi pertemuan antara perwakilan Hamas dan Fatah di Beijing, sebuah langkah yang dianggap sebagai terobosan diplomatis (Yellinek, 2021).
Tapi China tidak berhenti di situ. Mereka menggunakan "senjata" yang sangat ampuh: uang dan investasi. Dengan bantuan ekonomi yang menggiurkan, China seolah merangkul kedua kelompok Palestina ini, membangun kepercayaan layaknya seorang sahabat lama.
Sejak tahun 2006, China telah menjadi salah satu donor terbesar untuk Palestina, dengan bantuan mencapai lebih dari $100 juta per tahun (Burton, 2020). Bantuan ini tidak hanya dalam bentuk dana, tetapi juga proyek-proyek infrastruktur dan pelatihan sumber daya manusia.
Lalu, mengapa China begitu tertarik dengan konflik di tanah yang jauh ini? Jawabannya sederhana namun cerdik: kepentingan strategis. Kepentingan yang sama dengan negara-negara besar lainnya, seperti Amerika Serikat (AS) dan Rusia.
Timur Tengah adalah medan pertempuran geopolitik yang panas, dan China ingin memastikan bahwa mereka memiliki kursi VIP di arena ini. Dengan menjadi "malaikat perdamaian", China berharap dapat memenangkan hati negara-negara Arab dan Muslim, sekaligus memperluas pengaruhnya di kawasan yang kaya minyak ini.
Inisiatif Belt and Road (BRI) China, yang bertujuan untuk menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa melalui jaringan infrastruktur besar, memiliki jalur penting yang melewati Timur Tengah (Fulton, 2019).
Stabilitas di kawasan ini, termasuk di Palestina, sangat penting bagi kesuksesan BRI. Oleh karena itu, upaya China untuk mendamaikan Hamas dan Fatah dapat dilihat sebagai bagian dari strategi yang lebih besar untuk mengamankan kepentingan ekonomi dan geopolitiknya.
Tantangan
Namun, perjalanan China tentunya  tidak selalu mulus. China dihadapkan pada tantangan pelik untuk  menyatukan dua magnet yang saling tolak-menolak. Hamas dan Fatah memiliki perbedaan yang begitu dalam, sehingga upaya rekonsiliasi seringkali dianggap sebagai sesuatu yang mustahil.
Perbedaan ideologi, strategi perjuangan, dan kepentingan politik antara kedua kelompok ini telah berakar begitu dalam, sehingga bahkan mediasi China pun seringkali menemui jalan buntu. Seorang Yasser Arafat yang pemimpin Palestine Liberation Organization (PLO) dan Presiden pertama Palestina pun tidak mampu menyatukan kedua kelompok itu.